Pada dasarnya manusia itu bisa berubah,
Manusia bertumbuh dan berkembang.
Tidak hanya tentang lahir sebagai sosok bayi mungil tak berdaya yang bertahun-tahun kemudian menua dimakan waktu.
Pun ketika telah banyak lembaran-lembaran drama kehidupan yang dilewati, manusia yang tadinya naif pun tiba-tiba mampu mati rasa dan realistis hingga ironis.
Malam ini kau dan aku tertawa getir setelah obrolan panjang yang membuat kita larut dalam perasaan-perasaan tak tergambarkan.
Tentang kau yang berhenti berjuang dan aku yang menurutmu begitu kuat tapi dengan keras kepala kusebut diriku bodoh.
“Obrolan kita sepertinya berat yaa?” celetukku.
Tawamu renyah di telingaku dan sedikit berpikir keras kau mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapiku, “Definisi sudah berumur, benar-benar berat, haha.”
“Ingat nggak dulu kita bercerita tentang buku komik yang kita baca, crush yang menginspirasi bikin komik serial cantik?” celetukku lagi.
Tawamu kembali terdengar renyah, perpaduan rasa segan membuat keributan di kedai kopi yang sedang hening dan wujud getirnya asa yang belum sepenuhnya melegakan hatimu.
“Dan sekarang kita bicara sok bijaksana, saling bergaya memberi penghiburan padahal sama aja bobroknya.” lanjutku.
Keheningan membentang beberapa saat lalu kau berucap lirih menanggapiku,
“Rasanya tidak ada apa-apanya aku daripada dirimu, tapi kamu selalu terlihat baik-baik aja bahkan orang lainpun bisa sampai iri dengan dirimu.”
Aku mengaduk-aduk cappuccino dihadapanku dan senyumku getir sebab aku bukannya tidak tahu bagaimana orang lain memandang hidupku.
Barangkali dunia pun bisa menghakimiku, jika aku berteriak dan mengangkat tanganku karena menyerah bertahta di menara istana antah berantah yang indah.
Tapi aku bukannya tak pernah ingin menyerah secara egois tanpa peduli seisi dunia menghujatku, aku hanya merasa tak ditakdirkan menyerah.
“Menurutmu kenapa aku merespon pilihanmu dengan kata-kata penuh dukungan, aku bahkan tidak bertanya kenapa kau menyerah?”
Kau terdiam karena aku bergaya penuh teka-teki, lantas aku melanjutkan kembali penjelasanku tanpa menunggu tanggapanmu.
“Jika aku bertanya alasanmu, berarti aku nggak percaya seutuhnya dengan pilihanmu sedangkan aku sangat yakin kau membuat pilihan yang tak mudah hingga di tahap ini.” jawabku tegas.
“Aku merasa sangat lemah, dibandingkan kamu sebenarnya aku nggak ada apa-apanya.”
Aku mengernyitkan dahi kesal mendengar pernyataan sumbangmu,
“Kamu tuuh hebat, kamu mengambil keputusan yang berat dan kamu bukan menyerah tapi kamu berani menutup sebuah cerita untuk membuka cerita yang baru lagi nantinya. Padahal Allah bisa saja menggagalkan pilihanmu tapi coba renungkan kenapa semua ini berhasil sampai akhir? Konsekuensi pasti ada di setiap pilihan, tapi selalu ada solusi kedepannya, paham tak?”
Kau hanya mencibirkan bibirmu dan aku sedikit lega melihatmu bisa bersikap konyol menyebalkan setelah sekian waktu kau tampak seperti perempuan anggun menyedihkan dalam kisah-kisah novel drama rumah tangga.
Pikiranmu sedang kesulitan mencerna apa yang kurasakan setelah semua perbincangan panjang penuh drama telenovela.
“Aku nggak tahu apa aku harus salut atau khawatir sama dirimu.” celetukmu tiba-tiba.
Tidak ada jawaban dariku untukmu, aku tidak perlu menegaskan apapun.
Yang aku tahu, sekarang aku tidak terlalu suka perbincangan penuh spekulasi terhadap apa- apa yang kujalani.
Rasanya meski pelukku akan selalu kuberikan bagi orang-orang yang tengah terserang pilu, aku tak suka orang-orang menatap iba dan menawarkan pelukkan yang sama.
Jadi, jangan berusaha membalas apapun, dan berterima kasih saja aku ada menemanimu saat kau perlu menguatkan dirimu atas pilihan hidupmu.
Tentangku, biar aku sendiri yang menanganinya.
XOXO,
ROSETTA
Berat nyaa