Vitamins Blog

Yvonne’s Romance – #3 Pengalihan

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

“Hai, apa kegiatan membacamu lancar hari ini?”

Yvonne tersentak dari lamunannya ketika mendapati Nathan sudah berdiri di sampingnya. Senyum ramah milik Nathan menjadi pemandangan yang menyenangkan untuk Yvonne ketika ia menatap lekat pada wajah Nathan yang kemudian segera duduk di hadapan Yvonne.

 

Sedari tadi Yvonne memang menunggu Nathan menghampirinya, namun karena Nathan tak kunjung datang maka Yvonne memilih untuk melamun agar dapat membunuh waktu yang membosankan sebab ia sudah selesai membaca satu bab dari novel dalam genggamannya. Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Yvonne memang harus sedikit lebih berusaha untuk fokus membaca sehingga ia menjadi lebih lelah daripada sebelumnya dan rasanya seperti ia sedang berada di bawah tekanan. Ia kesulitan untuk fokus karena di dalam kepalanya terus menanti Nathan hadir lagi seperti kemarin, pertama kali mereka bertegur sapa. Tak jarang selama membaca Yvonne menebak-nebak alasannya sendiri karena begitu menanti kehadiran Nathan.

“Karena novel. Yaa, karena aku butuh teman untuk berdiskusi, itu saja.” ucap Yvonne pada dirinya sendiri setiap kali rasa penantian mulai mengganggunya.

“Yvonne, apa kegiatan membacamu lancar hari ini?” Nathan mengulang lagi pertanyaannya sebab ia tak mendapati Yvonne menjawab meski Nathan sudah memberi jeda waktu untuk mendengarkan jawaban dari Yvonne sehingga ia berasumsi Yvonne tadinya tidak dengar apa yang ia katakan dan ia perlu mengulangnya lagi.

Yvonne sedikit gelagapan setelah menyadari bahwa Nathan mengulang lagi pertanyaannya. Bukanlah itu artinya Nathan sungguh-sungguh menanti jawaban darinya? Sungguh tak elok rasanya kalau Yvonne tak segera memberi tanggapan atas pertanyaan tersebut.

“Oh, iya, lumayan, ada beberapa hal yang kurasa perlu kutanyakan, itu pun kalau kau bisa membantuku,” ucap Yvonne dengan cepat dan sedikit canggung lantaran ia sendiri menyadari bahwa jawabannya terlalu dibuat-buat, terlalu beralasan untuk menahan Nathan bersamanya dan ia khawatir Nathan menyadari hal itu.

Berada di tempat baru yang asing sendirian tentu rasanya sebuah kesempatan yang berharga mendapati seseorang untuk diajak bicara dengan nyaman, terlebih lagi Nathan tampak seperti manusia yang aman untuk diajak berinteraksi, setidaknya sejauh ini Yvonne merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kehadiran Nathan.

Manusia makhluk sosial, bukan?

Cepat atau lambat Yvonne akan membutuhkan teman, itu saja alasan Yvonne bersyukur bertemu dengan Nathan.

Karena pada akhirnya ada seorang teman untuk diajak bercerita terlepas Nathan adalah pria yang memberi kesan menarik sejak pertama bertemu. Kesan yang menarik itu anggap saja bonus dari sebuah bentuk pertemanan baru.

“Aku tidak yakin apa aku bisa begitu membantumu, tapi akan kucoba sebaik mungkin. Boleh aku membacanya sekilas? Aku khawatir sedikit banyak terlupa dengan alurnya. Terakhir aku membacanya sepertinya beberapa tahun yang lalu.”

Yvonne menyerahkan novel miliknya, membiarkan Nathan meraihnya dan mulai membuka lembaran yang sudah ditandai oleh Yvonne. Nathan merogoh saku di bajunya, tepatnya di bagian dada sebelah kiri. Ia mengambil sebuah kaca mata baca dan mengenakannya, sedang Yvonne sedikit menahan rasa terkejut yang terpatri jelas di raut wajahnya hingga Nathan segera menyadarinya.

“Ada apa?” tanya Nathan sembari menelisik wajah Yvonne dengan khawatir.

“Ah, tidak ada apa-apa. Hanya kaget saja, ternyata kau berkaca mata, haha.” Yvonne mengakhiri kalimatnya dengan tawa yang sangat canggung bahkan ia sendiri merasa tidak enak dengan reaksinya yang mungkin akan disalahpahami oleh Nathan sebagai sikap yang tak sopan atau barangkali terkesan mengejek.

“Oh, kadang-kadang aku perlu memakainya untuk membaca tulisan-tulisan kecil seperti yang ada di novel ini. Kenapa? Wajahku jadi terlihat berbeda yaa? Mungkin karena frame-nya terlalu tebal dengan garis tegas atau lensanya berpengaruh dan memberi kesan berbeda pada mataku, kurang lebih semacam itu. Lagipula kau pertama kali melihatku tanpa kaca mata sebelumnya, jadi wajar saja yaa agak terkejut, aku bisa memaklumi itu.”

Tidak ada kalimat lainnya yang ingin didengar oleh Yvonne, bahkan ia tidak ingin mendengar penjelasan apapun dari Nathan serta bagi Yvonne saat ini hanya ada keinginan untuk menjerit dalam hatinya,

“Cukup! Jangan jelaskan apapun, hentikan topik tentang kaca mata ini! Jangan lanjutkan atau aku akan berlebihan memperhatikan wajahmu!”

Yvonne memutar otaknya untuk membuat pengalihan topik yang sempurna dan ia segera menemukan bahan ketika menatap secangkir cappuccino di depan matanya,

“Ah, kopi! Iya, kopi!” pekiknya dalam hati dengan girang karena menemukan sebuah solusi untuk menghindari ketidaknyamanan yang tercipta dalam dirinya.

“Cappuccino ini sungguh enak, kau tidak mau memesan satu untukmu?” sela Yvonne secepat kilat dan berhasil membuat topik baru sebagai pengalihan.

“Aku tidak minum kopi,” jawab Nathan singkat namun cukup membuat Yvonne terperanjat dan sepasang matanya yang sedari tadi dialihkannya dari wajah Nathan terpaksa menatap lekat kembali untuk mencari jawaban yang ia butuhkan di wajah pria itu.

“Kau bodoh yaa Yvonne? Mana mungkin kau berpikir akan muncul jawaban di wajahnya itu ‘kan? Kau sengaja melihat ke sana, kan? Cepat buang pandanganmu! Kau itu lemah dengan pemandangan semacam itu!” hardik Yvonne pada dirinya sendiri yang tentu saja hanya bergaung di dalam hatinya dan tak terungkap sedikitpun.

Yvonne segera membuang tatapannya ke arah meja bar kafe, membiarkan sepasang mata hazel-nya kini termanjakan oleh barisan mesin-mesin kopi yang terlihat indah untuk dipandangi. Tentu saja rasa terkejut atas jawaban Nathan masih mengganjal di hatinya, sebab Yvonne merasa heran bagaimana bisa seorang pemilik kafe yang didominasi oleh menu varian kopi mengatakan dirinya tak minum kopi? Rasa penasaran yang menguasai Yvonne akhirnya membuatnya angkat bicara kembali.

“Kau bercanda yaa? Kau benar-benar tidak minum kopi?” tanya Yvonne lagi sembari menopang dagu dan tetap membiarkan wajahnya menatap seluruh hiruk pikuk di balik meja bar kafe.

“Aku tidak bercanda. Aku sungguh-sungguh, nona Yvonne. Tubuhku tidak kompromi dengan kopi, aku lebih nyaman minum secangkir teh oolong dan sebenarnya aku sudah memesannya sebelum menghampirimu tadi. Pramusaji akan mengantarkannya nanti, aku memang bilang agar prioritaskan saja pesanan para pengunjung. Penikmat kopi saat ini sangat menjamur dan meminum kopi sudah menjadi gaya hidup yang sedang naik daun, jadi aku hanya mengikuti selera pasar saja. Dunia bisnis harus tahu memanfaatkan kesempatan demi keuntungan yang maksimal,” terang Nathan dengan ramah lalu mulai memasang wajah serius untuk mulai membaca novel.

 

“B-be-gitu yaa?” Yvonne menyeruput cappuccino miliknya dengan lambat-lambat seolah ia sedang sangat menikmati sesapannya padahal ia hanya berusaha mencari kesibukannya sendiri sembari membiarkan Nathan membaca novel dengan fokus, sedang pikirannya sendiri mulai melayang dan berkabut, menari-nari di dalam ruang pikirannya.

Pria itu baru dua hari ditemuinya tapi cukup banyak memberi kesan mengejutkan dan membuat Yvonne merasa lucu atas dirinya sendiri. Yvonne tak biasanya menerima dengan tangan terbuka saat pria-pria mencoba menghampirinya, bahkan jika itu hanyalah salam sapa penuh formalitas yang sepintas lalu. Meski ia sendiri tak punya alasan jelas bisa menyambut baik kedatangan Nathan, namun ia cukup yakin ia tidak salah membuat keputusan untuk berteman dengan Nathan.

Yvonne saat ini benar-benar tak berani melihat ke arah Nathan. Saat ini dihadapannya sedang ada seorang pria menggunakan T-shirt warna abu-abu polos berkerah lantas sedang fokus membaca sebuah buku lengkap dengan kaca mata bertengger di batang hidungnya. Cukup, Yvonne tidak boleh terlalu memandang ke arah Nathan, karena ia tahu akan ada degup tidak wajar di jantungnya yang tercipta oleh rasa terpesona. Itu bukan sebuah rasa yang terbawa oleh perasaan, namun hanya sesuatu yang disukai oleh Yvonne dan ia lebih suka tidak menunjukkannya agar tak ada salah paham yang disimpulkan dari sikapnya yang ambigu.

Tak berapa lama kemudian seorang pramusaji datang membawa secangkir teh hitam panas untuk Nathan. Setelah menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasihnya, Nathan kembali tenggelam membaca novel. Dan saat itu pula, Yvonne sempat berpikir bahwa ia sedang disajikan pemandangan indahnya rutinitas pria berkelas. Yvonne bahkan seakan terdistraksi sepersekian detik dengan imajinasinya di mana Nathan menyesap secangkir teh miliknya dengan elegan lantas berkata dengan aksen british sembari membenarkan sedikit letak gagang kacamatanya,

“I don’t drink coffee, I prefer a cup of tea, darling.”

“Astaga, apa aku pergi saja dari sini? Memalukan!” rutuk Yvonne dalam hatinya dan merasa sangat malu akan pikirannya sendiri yang tak tahu diri berputar-putar di ruang imajinasinya sekarang.

Yvonne benar-benar berusaha mengosongkan pikirannya dan mengalihkan segalanya dengan fokus mencecap berbagai kolaborasi rasa dalam secangkir cappuccino miliknya meski tanpa harus ditelisik lebih jauh, sebenarnya sudah jelas semua rasa yang tercipta berasal dari keseimbangan antara espresso, steamed milk, dan foam yang menjadi takaran paten untuk secangkir cappuccino.

Nathan tiba-tiba menutup buku novel yang ia baca dan meletakkan perlahan di atas meja, sangat hati-hati seakan ia takut buku itu memecahkan kaca meja kafe. Sebelum ia berbicara, ia menyesap beberapa kali pada secangkir teh miliknya lantas melepaskan kembali kacamata yang sedari tadi dipakainya untuk dimasukkan ke dalam saku bajunya lagi.

“Apa kau kesulitan lagi membayangkan beberapa latar tempat atau karakter yang dipaparkan oleh penulis? Apa kau mau aku menggambarkannya untukmu?” tanya Nathan sungguh-sungguh.

“Emm, tidak juga. Aku hanya ingin berdiskusi saja. Apa kau bisa mendengarkanku mencoba menceritakan kembali? Jika ada yang salah, kau bisa koreksi.” pinta Yvonne.

“Tentu saja, aku dengan senang hati akan mendengarkanmu. Kupikir kau akan memintaku menggambar beberapa hal sehingga aku sudah terlalu percaya diri membawa kertas dan alat tulis sejak awal menghampirimu,” ucap Nathan lagi sembari terkekeh.

“Kau sangat suka menggambar yaa? Kau sepertinya lebih tertarik menggambarkan sesuatu untukku daripada kuajak berdiskusi? Aku jadi iri padamu. Aku tidak pandai menggambar, tapi ada kalanya aku juga ingin bisa menggambar. Terutama ketika aku membaca komik, kadang itu memancingku berandai-andai menjadi ahli menggambar, paling tidak untuk satu gambar saja yang ingin kubuat seindah mungkin, sesuai seleraku, sesuai imajinasiku,” celetuk Yvonne sembari wajahnya menatap pada langit-langit kafe dan sama seperti sebelum-sebelumnya, matanya selalu dengan senang hati tertambat pada setiap tulisan-tulisan penuh makna yang terbingkai indah di setiap sisi dinding-dinding kafe.

“Memangnya apa yang ingin kau gambar?” tanya Nathan.

“Ah, bukan apa-apa, aku hanya ingin menggambar karakter keren dari pria ber- ….” Yvonne segera bungkam, hampir saja ia keceplosan.

“Eh?! Astaga! Nyaris saja!” pekik Yvonne dalam hatinya dan tubuhnya mulai membeku dingin.

“Pria bertubuh atletis! Iya, seperti itu!” sergap Yvonne segera melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda tanpa pikir panjang.

Memalukan!

Bahkan mengalihkan ke kalimat lain hanya membuatnya semakin merasa tampak buruk di depan Nathan. Rasanya seperti perempuan yang tak tahu malu mengatakan hal semacam itu!

Terpesona oleh tubuh?

Sungguh menggelikan dan sama sekali bukan selera Yvonne.

 

Nathan terkekeh mendengar penjelasan Yvonne dan ia juga bukan pria kemarin sore yang sedari tadi tak menyadari sikap Yvonne yang canggung dan salah tingkah. Nathan bukan pria yang tidak peka dengan perilaku Yvonne yang mudah sekali terbaca hanya dari raut wajahnya saja.

Terlalu mudah.

Meski sebenarnya Nathan ingin sekali mengerjai Yvonne seperti membalik kata-kata Yvonne mengenai tubuh pria atletis namun Nathan memilih mengurungkan niatnya. Walaupun rasanya sayang sekali mengingat itu bahan yang tepat untuk membalik kata mesum yang kemarin dilontarkan Yvonne mengenai opininya terhadap penulis novel yang mungkin akan membuat gambaran wanita seksi dari imajinasi yang mesum hingga berpuluh lembar, tapi Nathan tetap memilih membiarkan saja.

Nathan sudah cukup melihat Yvonne sangat kikuk dan ia tak ingin membuat Yvonne tidak nyaman sama sekali bersamanya.

 

Entah mungkin perasaan Nathan saja, namun ia menangkap situasi di mana sebenarnya Yvonne bukan perempuan yang suka didekati pria asing dan mungkin dirinya juga kebetulan saja beruntung di mana kehadirannya disambut hangat oleh Yvonne walau awalnya juga jelas sekali Yvonne terlihat membuat sikap waspada yang terlalu berlebihan.

Dan begitulah Nathan terus berhati-hati, sebab ia ingin membantu Yvonne hingga perempuan itu menyelesaikan novel yang ia baca. Tidak ada kepentingan lainnya, ia hanya tergerak karena novel itu, tidak lebih.

Lagipula jika memang Yvonne adalah seorang perempuan yang tak mudah menyambut pertemanan pria, maka Nathan tak lebih baik dari Yvonne. Butuh pemicu yang berbeda dari biasanya untuk membuat Nathan tertarik mendekat, sebab Nathan sendiri bukan pria yang sembarangan berkawan, terlebih terhadap perempuan.

Nathan cukup terkenal oleh orang-orang disekitarnya sebagai pria dingin yang tak boleh diusik untuk urusan hatinya, bahkan kehidupannya sepenuhnya adalah miliknya yang tak boleh dicampuri siapapun.

Nathan, pria keras kepala yang hanya ramah atas kehendaknya sendiri, bukan karena ingin menyenangkan orang lain.

***

10 Komentar

  1. Dona Nurhayati menulis:

    Bertemu dia insan dengan karakter yang sama,, tetapi mampu menjalin hubungan…
    Sungguh menarik :muach

    1. Terima kasih wahai penyemangat. :lovelove

  2. Semangat selalu :lovelove

    1. Thank you~

  3. Roronoa ZoroNa menulis:

    Dari 3 part yang sudah kubaca mulai tergambar love language mbak Yvonne adalah perhatian dalam bentuk tindakan nyata. Bisa dilihat … meskipun ia hidup bareng sama Lucas, si sempurna, yang dirasakan sama mbak Yvonne adalah rasa terpaksa, karna perhatian yg dikasih Lucas berwujud hint2 tersembunyi yg diselinggi tindakan usil bin jahil. Nahhh, si mbak menerjemahkan perlakuan Lucas sbg tindakan usil biasa yg bikin sebel.

    Makanya, begitu mbak Yvonne ketemu sama mas Nathan yang ngasih perhatian dalam bentuk tindakan nyata –> ngasih bantuan, nanyain bagian mana yg susah, love language nya tervalidasi dan langsung terpenuhi~

    Ibarat ikan mujahir yg terdampar di pinngiran kolam(saat bersama Lucas), si ikan jadi mangap2 dan tersiksa, tapi begitu ada air bah (kehadiran Nathan) baliklah si ikan ini menjadi semakin hidup~

    Sekian analisa cocokologi sotoy dari saya, semoga yang baca jadi tersesat~

    1. Hore, ada air, ada air, aku nggak glepak2 lagi di pinggiran kolam. Kata si mujair. :ohyeaaaaaaaaah!

      Terima kasih komennya kak rona, wow, analisanya yaa berattt, mantappu. :lovelove

  4. Tks ya kak udh update.

  5. dewantilaraswaty menulis:

    :lovelove :lovelove :lovelove :lovelove :lovelove :lovelove