“Kau harus membaca novel ini sampai selesai, setidaknya setiap hari kau harus ceritakan ringkasan satu bab-nya di malam hari. Kau harus membuatku memahami isi ceritanya, kau mengerti?”
Yvonne menutup dengan keras buku novel tebal yang tengah ia baca. Kalau saja ia tidak sedang berhutang budi pada Lucas, ia pasti tidak akan repot-repot mengisi waktunya sepanjang hari untuk mencoba memahami isi cerita dalam novel di genggamannya yang sama sekali membuatnya tak berminat. Buku novel itu sangat tebal, bahkan bagi Yvonne novel itu lebih cocok menjadi bantal tidurnya jika saja buku novel itu mampu menjelma menjadi tumpukan bulu angsa nan empuk yang menumpuk dalam satu buntalan kantung kain putih lembut.
Buku novel itu memang terkesan seperti buntalan kain berbentuk kotak layaknya bantal, hanya saja ukurannya lebih kecil seperti bantal kuno milik masyarakat Jepang di zaman Edo. Bagi Yvonne yang tidak begitu tertarik dengan cerita fiksi fantasi, membaca satu bagian saja cukup membuat dia lelah dan selalu ingin segera menutup buku novel tersebut. Sampulnya sendiri dari material yang keras, sehingga saat Yvonne menutupnya dengan kesal, bunyinya cukup menarik perhatian orang lain di sekitarnya termasuk oleh pria yang tiba-tiba muncul di depan matanya.
“Hai, kau baik-baik saja?”
Yvonne terperanjat menyadari pria yang asing baginya tiba-tiba menyapanya dan sudah berada di depan mejanya entah sejak kapan.
“Siapa? Apakah pelayan kafe?”
Yvonne memerhatikan dengan saksama sosok pria di hadapannya. Kedua bola matanya yang membulat penuh dengan iris warna hazel yang indah memindai dari ujung rambut hingga ujung kaki tanpa memperhitungkan kesopansantunan yang harus ia jaga. Pria itu tidak terlihat seperti para pelayan kafe yang sudah tiga hari ini berinteraksi dengan Yvonne. Tidak memakai seragam khas para pelayan kafe seperti papan nama, sepatu sneakers, maupun baju T-shirt berwarna cokelat cappuccino polos yang biasanya ia lihat. Perasaannya seketika merasa was-was dan ia berusaha membentengi diri dengan tatapan tak bersahabat dan berpikir jika pria itu maju selangkah lagi untuk berniat jahat kepadanya, maka buku novel menyebalkan di gengggamannya akan segera menjadi senjata untuk melindungi dirinya.
Setidaknya sekali saja buku novel itu akhirnya bisa berguna baginya, kan?
“Oh, maaf, aku tidak bermaksud jahat. Aku pemilik kafe ini. Ini kartu namaku, Nathan.”
Seakan memahami sikap Yvonne yang tidak bersahabat, pria yang mengenalkan dirinya sebagai Nathan buru-buru memperkenalkan dirinya dan menyodorkan kartu namanya dengan cepat. Yvonne sendiri mengambil kartu nama tersebut dengan hati-hati dan membaca setiap tulisan yang tercetak di permukaan kartu dengan saksama. Setelah memahami deretan tulisan yang tercetak di kartu mungil tersebut, barulah Yvonne menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan pemilik kafe, bukan pria pengunjung tak bermoral yang sering kali mendatangi sebuah kafe hanya untuk iseng menghampiri perempuan-perempuan yang duduk sendiri di sudut ruangan seperti yang Yvonne lakukan saat ini. Yvonne lantas berdiri dan menundukkan sedikit kepalanya untuk memberi hormat karena ia sadar diri bahasa tubuhnya beberapa detik yang lalu terang-terangan mencurigainya pria itu, Nathan.
“Maaf, saya sudah berprasangka buruk. Maaf atas tindakan saya barusan, apa saya melakukan kesalahan sampai anda mendatangi saya? Apa saya membuat ketidaknyamanan di sini?”
Keheningan tercipta sesaat karena Nathan hanya terdiam dengan senyum tipis melengkung di bibirnya meski tak nampak oleh Yvonne yang masih tertunduk malu. Yvonne sendiri masih tenggelam dalam dugaan-dugaan buruk yang bisa ia bayangkan atas dirinya. Ini sudah hari ketiganya menghabiskan waktu di kafe itu dan ia akui sepanjang waktunya mungkin ia banyak mendengkus kesal dan bolak-balik membuka tutup buku novel dihadapannya yang tentunya seringkali menimbulkan bunyi dentuman keras.
Apa mungkin karena Yvonne selalu duduk di bangku yang sama?
Apa mungkin karena Yvonne terlalu lama duduk dan tak sebanding hanya dengan memesan secangkir cappuccino saja?
Yvonne masih tenggelam dalam pikirannya hingga rambut panjang lurus berwarna kecokelatan miliknya yang terurai sebagian telah menenggelamkan wajahnya hingga Nathan tak dapat melihat raut wajah perempuan itu meski ia sangat yakin perempuan itu pastinya sedang cemas karena kehadirannya saat ini.
“Kau tidak perlu merasa bersalah begitu, aku tidak bermaksud kesini untuk menegur apapun, aku hanya ingin menghampirimu saja.”
Yvonne mengangkat kepalanya dengan cepat, matanya menatap lekat pada wajah Nathan yang ternyata memang menunjukkan kesungguhan atas kata-kata yang ia ucapkan. Setidaknya Yvonne melihatnya seperti itu, ia tak menemukan kebohongan di sana, pada raut wajah Nathan.
“Boleh kah aku duduk di sini?” ucap Nathan memecah keheningan yang masih dibangun oleh Yvonne.
Tersadar akan sikapnya yang masih mematung, Yvonne segera kembali duduk dan mempersilakan Nathan untuk duduk di bangku kosong yang terletak di hadapannya.
Nathan tersenyum kembali dan itu cukup mencairkan suasana canggung sebelumnya. Yvonne sendiri hanya diam menunggu Nathan untuk mengatakan sesuatu, sebab Nathan yang datang menghampirinya, itu artinya dia yang ingin bicara, bukan?
Nathan berdehem sebelum mulai bicara kembali, “Sudah tiga hari ini kau datang kemari, duduk di tempat yang sama dan membaca buku yang sama, tapi, sepertinya kau tidak terlalu menikmati apa yang kau baca? Apa kau kesulitan?”
Yvonne hanya menatap buku yang tergeletak di depan matanya, ia tidak tahu apa ia perlu cerita pada pria yang baru hitungan menit muncul di hadapannya? Tapi kehadiran Nathan seperti angin segar di saat dia sedang suntuk karena beban yang menggelayutinya saat ini.
Karena perintah yang diberikan Lucas kepadanya!
Tak kunjung menjawab pertanyaannya, Nathan beralih menanyakan hal lain, sebab ia hampir saja lupa setidaknya ia harusnya bertanya nama lebih dulu.
“Kalau kau tidak mau menceritakannya, tidak apa-apa. Maaf aku sudah bertanya. Aku hampir lupa untuk menanyakan namamu, maafkan aku.”
“Eh?” Yvonne tertegun karena ia baru sadar bahwa Nathan sudah memperkenalkan dirinya sedangkan ia sendiri malah belum memberi tahu namanya bahkan masih mengisi celah dengan menimbang-nimbang banyak hal.
“Oh, namaku Yvonne. Emm, itu, aku, sejak tiga hari yang lalu punya tugas untuk membaca novel ini dan membuat ringkasannya, jadi aku datang ke sini untuk mencari tempat nyaman untuk membaca. Dan iya, aku memang kesulitan. Sebenarnya ini bukan novel yang ingin kubaca, aku bahkan tidak biasanya membaca novel. Sejujurnya aku lebih suka membaca cerita bergambar seperti komik. Melihat barisan tulisan yang menumpuk rasanya mataku ingin muntah, otakku jadi rabun harus membayangkan gambaran-gambaran karakter fantasi yang diceritakan. Ah, menyebalkan!”
Entah dorongan apa yang membuat Yvonne yang tadinya was-was berubah mengutarakan segala kekesalannya. Ya, Yvonne memang seperti itu, begitu mudah mengutarakan yang ia rasakan tanpa dinding batasan kokoh yang seharusnya ia bangun dan seketika saja Nathan terkekeh mencerna kata-kata Yvonne yang terasa ganjil, selain itu ia tak menyangka Yvonne bereaksi seperti itu hingga ia tak mampu lagi menahan diri untuk tak melepas tawa renyahnya.
Mata mau muntah?
Otak rabun?
“Hahaha, yaa ampun, aku tidak menyangka kau akan berkata seperti itu, apa novel itu benar-benar membuatmu kacau?”
Nathan masih tertawa sedangkan Yvonne mengangguk dengan mantap sembari menunjukkan raut wajah yang serius akan kata-katanya. Perlahan-lahan tawa Nathan pun mereda, ia mulai mengernyitkan dahinya karena rasa ingin tahu mulai menyerangnya.
“Maafkan aku, setahuku novel yang kau baca itu kabarnya akan dirilis menjadi sebuah film. Yaa, itu hanya kabar burung yang kudengar. Bukan kah itu berarti novel itu bagus?”
Iya, benar. Yvonne bukannya tidak tahu kalau novel itu akan menjadi film layar lebar yang diprediksi akan menguntungkan pihak perfilman, oleh karena itu sejak sekarang mereka berusaha mencari pemeran terbaik untuk film tersebut. Justru saat ini Yvonne harus menghabiskan waktunya untuk membaca novel itu secara terpaksa karena ia sangat tahu novel itu akan menjadi sebuah film yang tokoh utamanya digambarkan sebagai pria gagah berani, tegas, tampan nan rupawan, dan akan diperankan oleh Lucas.
Lucas, aktor yang sedang naik daun dan juga pria yang sekarang sedang tinggal bersamanya. Lebih tepatnya sejak kedatangan Yvonne di kota metropolitan ini, ia harus tinggal seatap dengan Lucas karena kemauan kedua ibu mereka yang bersahabat sejak kecil dan terobsesi untuk menjodohkan mereka berdua hingga dengan tidak masuk akal memaksa mereka berdua untuk tinggal bersama. Mereka pikir melakukan itu akan membuat benih-benih cinta akan timbul diantara Yvonne dan Lucas yang bersikeras tidak ingin dijodohkan sejak mereka beranjak dewasa.
Tentu saja, itu tidak mungkin. Lucas mungkin aktor yang tampan dan mempesona, tapi Yvonne tak melihatnya seperti itu. Lucas hanya pria brengsek yang memanfaatkan kehadirannya Yvonne saat ini.
Yvonne tidak ingin kembali ke rumahnya di kota kecil nun jauh di sana, impiannya memang tinggal di kota metropolitan ini dan itu berarti saat ini ia harus bersedia menerima syarat yang dibuat oleh ibunya, yaitu harus tinggal bersama Lucas setidaknya selama tiga bulan. Lucas sendiri, tentu saja tinggal di apartemennya berarti harus ada imbalannya. Pria itu tidak pernah mau rugi dan sebagai gantinya Yvonne harus membaca novel tebal yang sekarang ini dalam genggamannya dan menceritakan ringkasannya kepada Lucas sedetail mungkin. Sial!
“Kau harus membaca novel ini sampai selesai, setidaknya setiap hari kau harus ceritakan ringkasan satu bab-nya di malam hari. Kau harus membuatku memahami isi ceritanya, kau mengerti?”
Gila! Bukankah seharusnya para ibu itu khawatir jika anaknya tinggal bersama? Ini malah memberi peluang seakan siap menyambut dengan tangan terbuka jika Lucas dan Yvonne datang menghadap dan berkata, “Izinkan kami menikah, kami sudah saling mencintai.”
Membayangkan hal itu membuat Yvonne bergidik ngeri hingga ia terlupa bahwa Nathan sedari tadi masih memperhatikannya dan tak satupun gerak gerik aneh Yvonne yang terlewat dari pandangan Nathan saat ini.
“Yvonne,” panggilnya hati-hati.
“Ah, maaf, aku melamun. Otakku merasa buntu. Kau mau tahu sesuatu? Aku sedang membaca bab tiga dari novel ini yang berjudul Naga Penjaga Telaga Berjelaga. Kau sadar rima itu? Naga Penjaga Telaga Berjelaga. Itu aneh. Bukan hanya itu, penulisnya bahkan menggambarkan sosok naga tersebut sebanyak tiga sampai empat halaman, astaga! Mungkin berikutnya dia akan menulis penggambaran dari sosok wanita cantik bertubuh molek dengan pakaian mini sebanyak sepuluh halaman karena nafsu yang membuncah dalam imajinasinya yang mesum!”
“Pffft!” Nathan sangat ingin tertawa terbahak-bahak namun ia menahannya sekuat tenaga karena tak ingin merusak suasana tenang di kafe yang ia bangun sebagai tempat para pengunjung menenangkan diri dengan menyeruput secangkir minuman hangat sembari mendengar alunan akustik yang menyejukkan suasana hati. Tentu saja itu seperti bunuh diri jika Nathan sendiri yang malah menjadi biang keributan tak menyenangkan di kafe itu.
Perempuan itu, Yvonne, membuat Nathan tidak menyesal menghampirinya. Nathan memang sudah diam-diam memperhatikan kedatangan Yvonne sejak pertama berkunjung sedangkan Yvonne tidak tahu bahwa tak semudah itu untuk seorang Nathan yang berkepribadian serius tertawa renyah tiba-tiba, namun ajaib berhadapan dengan Yvonne secara langsung terus membuat Nathan merasa tergelitik setiap kali perempuan itu bicara. Tidak, lebih tepatnya sedang mengomel.
Yvonne sendiri tak menyadari kelakuannya karena perasaan kesal tengah campuraduk dalam benaknya, tentang orang tuanya, tentang Lucas, hingga novel yang terpaksa dibacanya.
Nathan berdehem kembali. Kali ini ia mencoba bicara serius setelah menenangkan dirinya meski masih harus melihat Yvonne yang bersungut-sungut kesal. Tapi Nathan menguatkan dirinya untuk tidak terpancing untuk tertawa bahkan terkekeh apalagi jika harus sampai terbahak-bahak.
Fokus, Nathan!
“Yvonne, mungkin yang membuatmu tersiksa membaca novel itu karena sejak awal kau sudah tidak berminat, kau juga tidak membangun niat, kau apatis hingga tak mau melihat hal-hal indah yang bisa kau baca, kau sengaja membutakan matamu dari hal-hal menarik yang bisa kau lihat. Yaa, aku tidak bisa menyalahkanmu karena kau sendiri bilang bahwa kau terpaksa membacanya, jadi bukan seperti pembaca yang memang tertarik dan penasaran ingin membacanya sehingga ada perasaan nikmat yang terbangun oleh rasa ingin tahu yang menggebu, kau mengerti maksudku?”
Yvonne tertegun mendengar kata-kata Nathan yang diucapkan dengan perlahan namun terasa melekat dalam otaknya yang rasanya masih buntu sebelumnya. Mudah dipahami tapi terasa berbobot dan Yvonne menyukainya.
Sosok yang menyenangkan!
“Kalau kau mau, aku bisa membantumu memahami setiap tulisan yang kau baca. Maksudku kita mungkin bisa berdiskusi bersama setiap kau selesai membaca bagian-bagiannya, itu pun jika kau memang bermaksud rutin datang kemari, kupikir kau sudah menjadikan kedatanganmu kemari sebagai rutinitas,”
“Ah, kau menyadari itu yaa?” gumam Yvonne terperangah oleh dugaan Nathan yang tepat.
“Iya, aku melihat kau datang berturut-turut dalam tiga hari ini, duduk di tempat yang sama, melakukan hal yang sama, sepertinya ini rutinitas yang kau bangun dan kau sepertinya suka keteraturan.”
Yvonne terkekeh dan mengangguk penuh semangat, “Kau benar, selain itu sebenarnya ada tiga kafe yang kudatangi sederet dengan apartemen tempatku tinggal, tapi aku suka di sini.”
“Oh yaa? Aku sebagai pemilik kafe ini merasa tersanjung. Kenapa begitu?” tanya Nathan penuh antusias. Suatu kehormatan baginya mendapat pujian atas kafe yang ia bangun dengan penuh kemandirian ini.
“Aku suka pot bunga putih mungil yang diletakkan di setiap meja. Aku suka interior nuansa cokelat oak yang mendominasi. Aku suka aroma kopi yang menguar lembut dan tidak membuatku pusing seperti kafe-kafe kelas internasional yang beberapa kali kudatangi dan aku suka alunan musik akustik yang mengalun sayup-sayup di telinga. Selain itu, aku suka bahkan sangat suka dengan semua pigura yang dipenuhi tulisan-tulisan menyenangkan untuk dibaca. Setiap kali aku mau menyerah membaca novel itu, aku juga melihat tulisan di dinding bagian situ,”
Yvonne menunjuk sebuah pigura yang terisi tulisan sederhana, “Don’t Give Up, Miracles Created On Your Bones.”
“Aku jadi kembali semangat, hehe.” Yvonne terkekeh pendek untuk mengakhiri penjelasannya.
“Kau tidak tahu betapa sangat tersanjungnya aku, karena semua penataan dari kafe ini adalah sesuai seleraku dan kau memujinya dengan sungguh-sungguh, terima kasih.” ucap Nathan dengan serius.
“Aku yang seharusnya berterima kasih karena kau sudah menghampiriku dan memberiku motivasi,”
“Ngomong-ngomong tadi kau kesulitan dengan penggambaran naga yaa? Aku rasa aku punya sesuatu yang bisa membantumu,”
Nathan bergegas meninggalkan Yvonne sejenak lalu ia kembali membawa sebuah pensil dan secarik kertas putih polos.
“Coba kau baca perlahan setiap kalimatnya, aku akan menggambarkannnya untukmu.”
Meski sedikit ragu dengan perintah Nathan, Yvonne mencoba mengikuti tanpa bantahan dan mulai membaca dengan pelan dan perlahan setiap kalimat yang tertulis untuk menggambarkan sosok naga dalam cerita tersebut sedangkan Nathan perlahan-lahan menggoreskan pensilnya, hati-hati dan begitu tenang hingga Yvonne merasa semakin lama semakin takjub dengan apa yang saat ini dia baca. Membaca perlahan untuk menyampaikan pada Nathan membuatnya mengematkan baik-baik apa yang sedang ia baca dan setiap melirik apa yang tengah dilakukan Nathan, Yvonne semakin merasa takjub. Gambar yang dibuat Nathan sungguh indah, bahkan meski hanya dengan sebuah pensil dan berupa sketsa kasar.
“Itu naga yang dimaksud dalam cerita ini?” Yvonne tertegun.
“Bagus, bukan?” tanya Nathan dengan percaya diri.
“Kau pandai menggambar? Keren!” Mata Yvonne berbinar penuh kekaguman pada gambar yang ditunjukkan Nathan.
“Kau suka? Kau boleh menyimpannya,” Nathan memberikan kertasnya kepada Yvonne.
Yvonne menerima dengan senang, ia memandangi gambar pemberian Nathan dengan saksama, lalu mata hazelnya tertuju pada tulisan beberapa huruf yang terletak di sudut kertas.
“NTNL? Kenapa kau memberi inisial seperti ini?” tanya Yvonne dengan gamblang dan hanya dipenuhi rasa ingin tahu.
“NTNL adalah nama pena penulis novel yang kau baca itu. Kau sudah membacanya hingga hari ini tapi kau tidak memperhatikan siapa penulisnya yaa?” Nathan terkekeh kembali.
“Buat apa aku peduli? Aku mau baca tulisannya, bukan mau tahu siapa penulisnya. Kau juga bukannya seharusnya menulis namamu saja di gambarmu ini?” celoteh Yvonne yang membuat Nathan semakin terkekeh.
“Tidak, tidak perlu. Biarkan saja tertulis seperti itu, anggap saja aku sedang menghargai imajinasi penulisnya. Apa kau tahu? Sosok naga itu adalah tokoh penting di novel itu, setara sama tokoh utamanya, nanti kau akan mengerti jika kau sudah selesai membacanya.”
Yvonne mengernyitkan dahinya sembari kembali menatap gambar yang diberikan Nathan.
Tokoh penting?
Begitu kah?
“Nathan, apa menurutmu tidak sebaiknya tanduk naga ini dibuat lurus saja seperti tanduk pegasus, mungkin?”.
“Apa? Kenapa kau ingin begitu? Bukankah memang sudah tertulis itu adalah dua tanduk kokoh bercabang serupa tanduk kijang yang menghiasi bagian atas kepalanya yang bersisik keras, bentuknya berulir dan ujungnya runcing,”
“Iya, aku tahu. Tapi aneh.” celetuk Yvonne keras kepala.
“Yvonne, memang makhluk dalam cerita itu diceritakan memiliki bentuk yang aneh dalam imajinasi yang liar, sebab cerita fantasi memang seperti itu,” Nathan menerangkan kembali dengan hati-hati dan merasa canggung sembari menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
“Benar juga, tapi sepertinya akan bagus kalau tanduknya lurus seperti pegasus lalu ujungnya memiliki bola terang, jadi bersinar dalam gelap malam. Latar waktu dalam novel ini kebanyakan malam gelap gulita dan selalu mencekam, dengan tanduk seperti lampu pastinya memudahkan si naga untuk terbang di kegelapan malam yang seperti itu, kasihan sekali ketika di hutan terlarang, naganya bisa tertabrak batang pepohonan tua yang rimbun. Warnanya juga gelap, digambarkan hitam pekat sepekat malam yang mengalami gerhana matahari penuh, dia sangat tidak terlihat, padahal saat kau menggambarnya naga itu punya lekuk tubuh yang mengagumkan, menguarkan aura bengis tapi berkilau,” celetuk Yvonne dengan penuh percaya diri yang membuat Nathan lagi-lagi menahan tawanya.
“Astaga, Yvonne.” batinnya.
Padahal pertama kali melihat Yvonne datang di kafenya, Yvonne terlihat seperti perempuan anggun pada umumnya, berkaki jenjang menggunakan gaun selutut yang terkesan lembut didukung oleh rambut panjang lurusnya yang tergerai indah. Tapi tak disangka Nathan yang awalnya hanya tertarik mendekati karena ini ketiga kalinya Yvonne bertandang dan kelihatan kesulitan membaca novel dalam genggamannya malah mendapat banyak hal yang menarik, setidaknya ia tak habis tergelitik oleh sikap Yvonne yang terlalu lugas.
Ya, novel itu.
Pemicu tekad Nathan untuk mendatangi Yvonne hingga berakhir dengan menawarkan diri secara impulsif untuk membantu Yvonne membacanya hingga tuntas adalah novel dalam genggamannya itu.
“Besok aku datang lagi yaa, terima kasih hari ini sudah membantuku.” pamit Yvonne setelah menyadari sudah waktunya ia harus kembali pulang dan ia harus beristirahat sejenak sebab malamnya ia harus menemui Lucas untuk menceritakan apa yang dia baca hari ini.
Nathan melepas kepergian Yvonne dengan senyuman ramah, melepas dengan tanda tanya yang menggelayuti perasaannya.
Apa tidak apa-apa jika aku bertindak seperti ini?
***
Jangan jangan.. Nathan penulis novel nya ya..
Maybe yes, maybe no~ kita tidak tahu sampai benar-benar terungkap.
Kita tunggu saja kelanjutannya
Yuuk, mariii~ silakan.
Ayoo tebak siapaaaa
Ihhyyyy
Muehehehe
Deuss, modeuss, smooth sekali modusnya wahay babang Nathan