Vitamins Blog

Hiden Love || Chapter 2

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

8b7c02bcc455f71fe80e677df6b1c099

6 votes, average: 1.00 out of 1 (6 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Holla,

Author abal-abal balik lagi. Yah, setelah mendapat hidayah. akhirnya jadi chapter 2. Makasih yang udah mau baca

Ok, Happy Reading—

 

 

“Kalian sudah saling kenal?”

Pertanyaan Mark Sundeson menyadarkan Louis akan keberadaannya di pesta makan malam. Ia menoleh pada pria tua tersebut kemudian pada Bianca yang menatapnya keheranan. Dan ia baru sadar baru saja jadi pusat perhatian di meja tersebut.

Oh tidak. Louis tidak suka menjadi pusat perhatian.

“Ya,” Mery menjawab mewakili Louis. “Kami … pernah bersekolah di SMA yang sama.”

“Benarkah?” timpal Bianca ikut penasaran.

Louis berdeham sekali kemudian menjawab dengan ragu. “Y, ya.”

“Sungguh kejutan bukan! Eliz pasti senang mendengarnya! Oh, apakah Eliz juga mengenalnya? Dia juga satu sekolah denganmu dulu,” kata sir Sunderson dengan semangat. Sementara Louis masih berdiri mematung sebelum akhirnya ditarik duduk oleh Bianca.

Sekilas pria tersebut melirik ke arah Mery yang sekarang sudah duduk di samping Mark Sunderson.

“Oh tidak, paman. Eliz tidak mengenal Louis. Aku yakin itu.”

“Tidak?”

“Ya, waktu itu Eliz pindah ke London di tahun ke duanya. Kau ingat?”

“Ah, kau benar. Eliz pindah ke London. Aku ingat dia menangis seharian karena tidak ingin pindah. Sementara Ben dan Lizza menyuruhnya untuk pindah ke London, karena urusan pekerjaan….”

Sementara Mark Sunderaon bercerita tentang masa lalu cucunya pada beberapa orang di sana. Bianca mencondongkan dirinya untuk berbisik pada Louis.

“Kau mengenal keponakan Mark Sunderson?”

Louis tidak langsung menyahut, ia kembali menoleh pada Mery yang sedang tertawa dan bercerita sesuatu pada pamannya. Kemudian ia menjawab singkat masih dengan keraguan, “Kurasa, iya.”

Bianca menatapnya dengan alis terangkat. “Kau tidak pernah cerita padaku.”

“Kupikir itu tidak terlalu penting,” Louis kembali menoleh pada Mery sambil menerawang ke suatu masa, kemudian ia meneruskan, “Lagipula … aku bahkan sudah lupa kapan kali pertama kami bertemu.”

Louis bohong.

Louis ingat betul bagaimana pertama kali mereka bertemu. Atau ia hanya membayangkan pertemuan pertama mereka yang tidak terlalu berkesan sama sekali. Masih segar dalam ingatannya. Gadis bertubuh langsing yang sedang tertawa di hadapannya itu memang sudah banyak berubah. Tubuhnya tidak sekurus dulu, wajahnya yang dulu polos kini berhias riasan tipis—hm, Louis yakin ia juga pernah melihat gadis itu berrias make up sebelum ini—dan Mery Anneliese terlihat lebih dewasa seperti wanita terhormat lainnya.

Tetapi Louis masih menyimpan segudang memori tentang metentang denting piano, ketukan tiga per empat, juga seorang gadis manis bernama Mari Anneliese.

 

***

 

“Hey, Loui. Aku bertanya mewakili Matilda. Ia bertanya, apakah kau bersedia datang ke Star Candy setelah ini?”

Louis mengangkat wajah dari buku catatannya setelah mendengar pertanyaan dari Evans. Kelas mereka masih huru-hara setelah pelajaran terakhir berakhir.

Mr George—guru fisika mereka—bahkan masih nampak asik berbincang dengan ketua kelas mereka. Ah, Louis lupa siapa nama anak lelaki berpotongan klimis itu.

“Hm?”

Evans mendesah lelah karena harus mengulangi kalimat panjang tersebut pada Louis. Jadi ia menunggu kelas lumayan sepi untuk kembali mengatakan,

“Matilda menginginkanku bertanya padamu, ‘apakah kau bisa datang ke Star Candy setelah ini?'”

“Siapa?”

“Matilda Jane. Tinggi, pirang, cantik, pintar, klub catur. Walau sebenernya aku agak heran kenapa dia tertarik pada manusia batu ini?” Evans mengerutu dibagian akhir kalimatnya.

“Untuk apa?”

“Entahlah, munggin dia hanya ingin mengobrol denganmu.”

Evans hampir saja mengatakan, gadis itu naksir setengah mati pada manusia batu sepertimu! Demi Tuhan! Kau bahkan tidak tahu itu!

Tapi Evans menyimpan semua kalimatnya kembali ke dalam mulutnya. “Bagaimana kau akan menemuinya?”

“Entahlah, tapi aku tidak pergi dengan orang asing.” Kata Louis tidak terduga.

“Kau serius tidak mengingatnya? Bukankah kalian satu kelas di tahun pertama dulu? Seingatku, kalian sering menghabiskan waktu bersama.”

Itu hanya pendapat Evans, walau sebenarnya sudah terlihat jelas bahwa Louis tampak enggan untuk menemani gadis itu kesana kemari atau dengan alasan yang konyol seperti latihan catur. Hmm…

“Aku tidak yakin….”

“Demi Tuhan, Louis Andreas Collins. Apa kau sungguh tidak punya teman selama ini?”

Louis mengedik sebelah bahu sambil berkata polos. “Aku punya satu di sini,” katanya sambil menunjuk hidung Evans.

Anak lelaki tersebut menangkisnya. “Aku sungguh tersanjung karena aku adalah teman satu-satunya untukmu. Tapi aku juga curiga dengan orientasi sexualmu. Kau tidak bermaksud menikahiku suatu saat nanti bukan?”

Bisikan kalimat terakhir Evans membuat Louis menganggak alisnya tinggi, kamudian ia menanggapi dengan wajah datar. “Ya, jika kau memaksa, aku harus apa?”

“Apa?!”

Tapi akhirnya seulas senyum samar terbit di bibir pria tersebut.

“Lagipula,” katanya kemudian. “Kenapa harus jauh-jauh ke Star Candy? Bukankah dia bisa menemuiku di sekolah?”

Evans memijit pangkal hidungnya yang mulai berdenyut. Lihat?! Betapa primitifnya manusia ini. “Dengar …. mungkin Matilda malu jika harus berbicara di depan semua orang termasuk teman-teman satu sekolahnya.” Walau sebenernya Evans yakin Matilda tidak akan kesulitan berbicara di depan umum. Namun, jika kita ingin berbicara pada seseorang yang kita suka, tentu saja mereka akan memilih tempat yang jauh dari semua orang termasuk teman-teman mereka. Matilda juga ingin menjaga mukanya, tentu saja!

“Terutama jika ia tidak mendapat respon yang ingin ia dengar, aku yakin dia ingin mengubur diri saat itu juga.” Itu dalah gumaman Evans untuk dirinya sendiri.

“Apa itu penting?” Louis menggumamkam sesuatu sementara ia menunduk untuk menyimpan buku catatannya ke dalam tas.

“Apa?”

“Apa itu penting. Maksudku hal yang ingin dikatakam Matilda itu.”

“SANGAT penting!” tegas Evans.

“Hmm….”

Evans menunggu kalimat selanjutnya tapi tidak, Louis bangkit dari kursinya sambil membawa tasnya.

“Tunggu, kau benar-benar akan memuinya?”

“Ya, kenapa?”

Evans menggeleng. “Tidak, itu bagus. Kuberitahu ya. Jika kau tidak tertarik. Tolong katakan dengan halus. Jangan terlalu blak-blakan. Jika kau salah langkah, maka kau yang akan mendapat kesulitan.”

Louis tidak mengerti maksud Evans hanya mengerut kenungnya. “Kesulutan apa? Apa mrs Falery akan memukulku jika aku salah nada?”

Evans mengerut kening. “Hey, apa yang kau bicarakan?”

“Dan apa yang sedang kita bicatakan?”

“Matilda Jane, tentu saja,” kata Evans dengan nada tersinggung.

“Oh tidak Evans, kau salah sangka. Aku sedang membicarakam mrs. Falery.”

“DEMI JENGGOT MARLIN!! Tunggu. Apa? Kenapa kita harus membicarakan mrs Falery? Ada apa dengan mrs Falery? Dan apa urusanmu dengan wanita tua itu?”

Tanpa menjawab Louis mengacungkan buku tebal di tangannya tepat di depan wajah Evans sebelum berkata, “Aku diminta menjadi pendampingnya di kelas balet setiap seusai sekolah. Tiga kali dalam seminggu.”

“Apa?! Pendamping? Kau akan menari dengan nenek tua ituu … aduh!”

Louis berhasil memukul kepala Evans dengan gulungan buku musik di tangannya. Itu karena Evans sudah bicara sembatangan.

“Dasad bodoh! Tentu saja bukan. Aku hanya diminta menjadi pendamping musik untuk sesi latihan kelas balet. Mereka kehilangan pemain piano mereka seminggu yang lalu.”

Evans mengangguk-angguk mengerti. “Baiklah. Bagaimana dengan Matilda?”

Ini tidak akan selesai. Pikir Louis.

“Dia akan baik-baik saja aku yakin.”

“Astaga, Loui … kau….”

“Aku tidak akan menemuinya,” tukas Louis. “Jika itu yang kau tunggu. Kau bisa sampaikan padanya aku sedang ada urusan atau sebagainya. Aku tidak ingin menemuinya di manapun selain sekolah. Itu membuatku tidak nyaman.”

Evans mendesah menyerah. Ia tidak bisa memaksa Louis jika ia bilang tidak merasa nyaman atau aman jika ditinggal berdua dengan orang asing.

“Baiklah, akan aku pastikan Matilda mendengar apa yang aku katakan.”

“Terima kasih. Apa kau ingin ikut denganku ke ruang tari?”

“Dan membiarkanku tiba-tiba diseret oleh nenek tua itu untuk menjadi pendampingnya dalam pas de deux?” Evans menggeleng dramatis. “Tidak Loui. Aku masih muda. Pamorku akan sangat jatuh begitu seseorang dari gadis-gadis itu mulai menyebarkan gosip tidak penting.”

Louis mengdeik bahu, “Terserah….” kemudian berjalan menelusuri koridor yang mulai sepi menuju gedung persiapan tari.

Gedunya berada di sebelah selatan dari gedung utama. Sepanjang jalan banyak anak-anak yang mengikuti club berseliweran di sepanjang lorong atau tampah sedang berbaris di pinggir lapangan. Hari itu sore musim semi, matahari sore terasa lebih hangat ketimbang beberapa bulan lalu. Louis mendengar suara samar musik dari pertunjukan Swan Lake, semakin ia mendekat Louis semakin yakin, suaranya jelas dari salah satu ruangan. Dimana lagi yang memutar musik klasik selain club balet?

Pintunya tidak tertutup rapat, Louis pikir ia terlambat dan mrs Falery memutuskan menggunakan tip record sebagai pengganti pengiringnya, begitu Louis membuka pintu, ia langsung dibanjuru sinar matahari sore yang silau dan seorang gadis muda yang sedang menari. Gadis itu bahkan tidak menyadari kehadiran Louis karena saking fokusnya menari.

Louis tidak berani masuk, ia masih menunggu di ambang pintu sampai si gadis mengijinkannya masuk. Ya, itu sopan santun menurutnya. Selama itu, Louis hanya melihat gadis itu menari solo, melompat, bejinjit, berputar …. Mata Louis tidak lepas dari pertunjukan singkat tersebut sebelum akhirnya gadis itu menyelesaikan putaran terakhirnya dan barulah ia melihat Louis.

Manik mata biru milik Louis bersitatap dengan manik mata emerald gadis itu. Mata Louis tidak lepas dari gadis itu sejak pertama ia datang, jadi ia melihat dengan jelas perubahan wajah gadia itu. Ia terkejut dengan alis terangkat tinggi, kemudian seolah mengingat sesuatu sebuah senyum terukir di bibirnya.

Louis merasa sesuatu menggelitik perutnya sejak tadi, sampai-sampai ia ingin menggaruknya.

“Apa kau Louis Collins?”

Mendadak ditanya seperti itu, Louis tidak langsung menjawab. Ia sempat gelagapan sampai akhirnya memutuskan untuk berdeham sekali—hanya untuk mengembalikan suaranya—kemudian menjawab, “Y, ya.”

Oh sial, suaranya masih tetap terdengar aneh. Jelas Louis tidak ingin dicap sebagai tukang intip oleh gadis ini.

“Oh, syukurlah.” Sekonyong-konyong gadis itu menyodorkan tangannya. “Mary. Mary Anneliese.”

Louis menatap tangan gadis itu kemudian menatal wajah gadis itu bergantian, ragu. Tapi kemudian ia menjabat uluran tangan Mary Anneliese.

“Louis Collines.”

Itu adalah tahun ke tiga Louis ketika pertama kali bertemu dengan Mary Anneliese. Sungguh tidak berkesan bukan?

 

***

 

Suara rintik air di permukaan kaca ruang kerja Louis menyadarkan pria tersebut dari lamunannya, ia menoleh menatap langit yang sudah gelap di luar sana dan gerimis mulai turun perlahan, kemudian semakin banyak, dan hujan turun dengan derasnya menimbulkan hawa dingin ke seluruh ruangan.

Ia baru saja berpikir akan menyalakan perapuan ketika tiba-tiba Evans menyerbu masuk–seperti biasa tanpa perlu mengetuk pintu–dengan rambut yang setengah basah.

“Astaga, aku benci hujan di cuaca dingin seperti ini,” katanya mulai mengeluh. “Aku tidak naik taksi karena kupikir cuacanya sangat indah pagi ini. Ramalan cuaca sialan, mereka harus mebayar mahal karena memberikan ramalan palsu.”

Louis yakin pria itu hanya membaca cuaca di jam-jam yang ia inginkan bukan di jam-jam selanjutnya. Tapi Louis tidak ingin memperpanjang masalah.

“Kau membawa manuskripnya?”

“Tentu saja,” sahut Evans dengan nada tersinggung. “Kau bahkan tidak menanyakan kabarku hari ini?”

Louis mengedik sambil menerima amplop dari Evans. “Kau sudah mengatakannya tadi.”

Evans mendengus kemudian mengempaskan diri ke kursi berlengan Louis.

“Kudengar dari Bianca kau baru bertemu dengan kawan lamamu. Apa itu benar?”

Louis yang mulai membuka amplopnya hanya menggumam untuk menanggapi.

“Siapa? Aku dengar juga dia adalah keponakan sir Sunderson. Dan ia satu sekolah dengan kita. Apa aku juga mengenalnya?”

Louis menggumam lagi kali ini dengan suara jelas. “Aku tidak yakin, tapi mungkin kau pernah mendengarnya beberapa kali.”

“Coba katakan namanya. Aku mengenal semua angkatan kita dengan baik.”

“Oh, tidak Evans. Dia tidak satu angkatan dengan kita, jadi mungkin kau tidak mengenalnya.”

Evans memutar bola matanya. “Kau cukup menyebut namanya, kalau namanya sering kudengar beberapa kali mungkin saja aku ingat orangnya.”

Louis mendesah menyerah, kemudian ia menatap Evans dengan ragu. Lalu ia menjawab, “Mary Anneliese. Kau sudah pasti tidak tahu. Aku pun tidak terlalu ingat….”

“Tunggu! Mary Anneliese? Kau bercanda?! Dia kekasihmu saat SMA bukan?”

Oh, ingatan Evans yang menyebalkan!

“Dia bukan kekasihku,” Louis mengoreksi.

“Astaga, demi Tuhan! Kalian bertemu lagi setelah hampir sepuluh tahun? Reuni yang tidak terduga.” Evans mulai heboh, “Jadi apa kabar dia sekarang? Apa dia sudah menikah? Atau dia menyesal telah meninggalkanmu?”

“Sekali lagi. Dia bukan kekasihku atau mantan kekasihku. Kami tidak berhubungan seperti itu.”

Evans mengangkat tangan ke depan dada. “Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Kau tidak ingin membahas masa lalu,” katanya kemudian. “Jadi … dimana dia sekarang?”

Louis mendesah menyerah, ia menutup manuscipnya kemudian menangkup wajahnya dengan lelah. “Kupikir selama ini ia di London. Tapi kemarin ia bilang ia di Glasgow….”

Evans tidak menanggapi, itu berarti ia menunggu kelanjutan cerita Louis. Jadi pria itu itu melanjutkan,

“Ia bekerja sebagai skretaris seorang pengacara,” kata Louis cepat.

“Tunggu. Apa?” Evans tidak berpura-pura terkejut. Tapi ya begitulah kira-kira wajah terkejut Louis saat itu.

“Kau terkejut?” Louis tersenyum masam. “Kupikir West End adalah tempatnya. Tapi aku baru tahu. Tempat itu bukan lagi tujuannya sejak tujuh tahun lalu.”

“Ya, kita tidak bisa mengetahui masa depan. Orang-orang bisa berubah dengan waktu singkat. Kau tidak perlu menyalahkan dirimu atas hal itu.”

Louis mengerut alis tidak mengerti. “Aku tidak sedang menyalahkan diriku sendiri atas pilihan seseorang.”

Sebagai jawaban Evans mengedik sebelah bahunya. “Siapa yang tahu. Jadi, dia datang hanya untuk menghadiri acara sepupunya?”

“Oh, tidak. Dia akan tinggal beberapa saat sampai si pengacara pulang dari acara liburannya ke Swiss.”

“Syukurlah, dia tidak berencana ikut berlibur dengan si pengacara sehingga kalian bisa bertemu dan menghabiskan beberapa waktu untuk mengenang masa lalu.”

“Omong kosong.”

“Ya, kau akan menyesali kalimatmu sebentat lagi.”

 

***

 

Harusnya Louis mendengarkan apa kata Evans. Atau setidaknya ia harus mengingatkan diri sendiri agar tidak berspekulasi terlalu dini. Ia menyesali kalimatnya tidak lama setelah itu.

“Kuperkenalkan padamu, Mary Annelise.”

“Saya akan menjadi juru tulis Anda selama dua minggu kedepan. Anda tidak perlu khawatir, jam terbang saya sebagai sekretaris cukup bagus….”

Louis tidak khawatir. Ia percaya. Yang membuat Louis khawatir saat ini hanyalah satu…

 

Apakah ia akan sanggup menahan jantungnya agar tidak berdetak terlalu keras?

 

 

TBC

4 Komentar

  1. Eli Sunarni menulis:

    Cukup menarik, semangat menulis

  2. Indah Narty menulis:

    Lanjutkan… semangat :lovelove :lovelove :lovelove

  3. famelovenda menulis:

    Warning!!! Diperlukan dokter jantung secepatnya untuk menyelamatkan Louis. Eh. :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah! :ohyeaaaaaaaaah!

    Makasih untuk update-nya. Moga sehat selalu. :lovelove