Ferre berjalan menuju ruangan Daniel, manajer restorannya dan terdapat gadis lemah itu menjalin tangan, seakan hukuman mati akan menimpanya segera. Padahal sebentar lagi, ia akan keluar dari garis kemiskinan dan menjadi jalang yang kaya. Apalagi yang dicari saat semua kebutuhan sudah dipenuhi. Munafik sekali gadis ini.
“Ferre!” Daniel menoleh ke arah Rania, “Rania, Ferre sudah datang. Jangan tegang begitu dong, eh permasalahan kalian dibicarakan baik-baik ya. ” Ucap Daniel kepada mereka berdua.
“Dia sangat tegang sedari tadi. Kasihanilah Ferre, gadis muda itu.” Bisik Daniel saat berlalu, sedangkan Ferre yang mendengar hanya terdiam, bahkan gadis itu sudah membuat Daniel menjadi sekutunya.
Ferre duduk elegan di hadapan, seperti singa yang ingin menerkam mangsanya yang pasrah antara hidup dan mati. Lelaki itu mengusap dagunya pelan, menguarkan aura arogan yang ketara. Mencemooh ketidak berdayaan Rania saat ini.
“Jadi?” tanya Ferre tanpa basa-basi.
“S-saya setuju dengan penawaran Tuan,” sudah jelas, saat manusia membutuhkan uang, menjadi jalang pun akan dilakukan.
“Sudah dikatakan sebelumnya, tidak perlulah jual mahal. Sekarang mana nomor rekening panti asuhan itu, tapi sebelum itu. Aku punya persyaratan.”
“Syarat?” Ferre mengangguk, melipat kedua tangannya ke dada.
“Berhenti bekerja dan pindah ke apartemen yang sudah disediakan.” Rania memAndang tak percaya ke arah Ferre, bagaimana ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang lain, lagipula apa alasan yang ia berikan kepada Bunda Indah jika ia keluar dari Panti.
“Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan saya jika saya tidak bisa bekerja, Tuan Ferre yang terhormat.”
“Selama kau menjadi jalangku, hal remeh seperti itu tidak perlu dipusingkan,” Ferre menyeringai, “Tugasmu hanyalah melayaniku di ranjang. Yang lain tidak perlu dipikirkan, Gadis lemah.”
Rania memejamkan mata, apapun. Apapun akan ia lakukan demi membalas budi panti asuhan yang telah menampungnya dari dinginnya malam, menyelamatkan nyawanya. Pasrah akan apa yang terjadi adalah pilihan Rania saat ini.
“Terserah Tuan saja.”
“Tentu saja.” Rania menyerahkan nomor rekening kepada Ferre, entah apa yang lelaki itu lakukan. Tetapi, sepertinya ia menelpon seseorang.
“Malam nanti, aku akan mengirimkan sopir untuk menjemputmu, segera.” Mata Rania membulat sempurna, tidak perlu!
Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada Bunda Indah jika ada seseorang yang menjemputnya dengan mencurigakan, ia harus memikirkan alasan untuk keluar dari panti secara baik-baik.
“Tuan, saya sangat setuju dengan persyaratan Anda. Tapi, bisakah Anda memberikan keringanan kepada saya untuk memberikan sedikit penjelasan kepada Ibu Panti atas kepergian saya?”
“Berapa lama?”
“Besok, besok saya akan menemui Anda di tempat yang sudah Anda tentukan sebelumnya. Dan bisakah Anda berpura-pura sebagai donatur panti, bukan sebagai kenalan saya? “
“Kenalan?” alis Ferre terangkat, begitu tingginya wanita ini menilai dirinya sebagai kenalan seorang Ferre Nicolo padahal hanya seorang wanita murahan.
Rania menunggu jawaban dari Ferre, apakah ia salah berbicara? Ia sudah cukup hati-hati dalam berbicara dengan seorang Ferre. Lelaki tampan, berwajah malaikat berhati iblis.
“Baiklah, tidak ada ruginya juga dan besok, jangan lupa berdAndan. Aku ingin melihat seberapa cantiknya jalang yang sudah kubeli dengan harga 300 juta, melebihi artis saja.” Rania hanya mengepalkan tangan, menahan semua rasa. Air mata ingin menggenang, sekuat tenaga Rania menahan semua perih.
Rania hanya bisa pasrah, melawan pun apakah ia bisa?
Demi Bunda Indah, demi panti. Rapal Rania, berharap kata-kata tersebut menguatkannya.
::::
Rania duduk gelisah, menunggu Bunda Indah. Bibi Dina sudah ada sedari tadi memperhatikan. Tersenyum, seperti mengisyaratkan bahwa ia lega. Rania akan pergi dari Panti segera dan selamanya.
Bunda Indah datang, duduk dengan perlahan.
“Ada apa, Nak?”
“Bun, Rania minta ijin untuk keluar dari panti.” Pernyataan Rania membuat Bunda Indah terkejut. Menggenggam tangan kurus Rania, Bunda Indah menatap gadis itu, terlihat pucat dan gelisah. Entahlah wanita paruh baya itu tidak mengerti juga.
“Kenapa, Nak? Ada masalah.” Mata Rania berkaca-kaca, wanita ini yang merawat Rania sedari kecil. Tangan ini yang memeluk Rania saat ia ditindas, di caci-maki oleh lingkungan sekitar. Label anak haram sudah terikat pada dirinya. Hanya Bunda Indah yang menatapnya sebagai makhluk suci. Demi wanita ini, ia rela menjadi makhluk paling hina sekalipun.
Rania menyodorkan uang sebesar 10 juta yang ia dapat dari Ferre, dengan tatapan merendahkan Ferre memberinya uang ini. Bunda Indah menatap bingung uang yang Rania berikan.
“Bunda, Rania hanya bisa mengumpulkan uang segini, sedangkan uang yang kita butuhkan dua ratus juta lebih lagi. Tidak akan cukup kecuali adanya keajaiban,” kecuali ia telah menjadi jalang seorang pria kaya yang arogan. “Rania dapat pekerjaan yang lain, Bun. Sudah cukup Rania menyusahkan di panti ini. Lebih baik Rania keluar dan mungkin saja meringankan beban panti ini.”
“Tapi tidak perlu sampai keluar dari panti, Rania. Masih banyak jalan keluar yang lain.”
“Mbak, Rania sudah besar. Tidak ada anak panti lain seusia Rania di sini, Mbak. Di-”
“Diam, Dina! Apakah ini karena kau, Rania ingin keluar dari panti?” tanya Bunda Indah berang.
“Kenapa, Mbak menuduhku. Aku hanya berkata yang sebenarnya. Untuk apa Mbak menahan Rania di sini. Ia ingin hidup mandiri. Sudah saatnya ia keluar dari sini.”
“Tidak!” Bunda Indah menatap Rania, “Nak, tidak perlu sampai keluar dari panti. Kau bahkan membantu pekerjaan panti.”
“Pekerjaan panti yang lain bisa di bantu dengan anak panti lainnya, Mbak. Jangan lupa, aku juga bisa membantu. Selama ini, Rania hanya menyusahkan kita saja!” teriak Bibi Dina, Rania hanya terdiam melihat pertengkaran sepasang saudara itu. Lagi, mereka berkelahi karena Rania.
“Dina.” Ujar Bunda Indah geram, kalau tidak dihentikan. Perkelahian ini akan semakin parah. Rania berdiri, untuk menarik perhatian kedua wanita paruh baya di depannya ini.
“Bunda!” teriak Rania, “maaf, tapi Rania harus keluar dari panti ini. Karena Rania sudah menemukan pekerjaan yang lebih baik dari pramusaji. Rania sangat mengharapkan pekerjaan ini. Rania harap Bunda bisa mengerti, Rania mungkin akan berusaha sesering mungkin bertandang ke panti ini. Rania mohon, Bunda.” Bunda Indah terdiam, menatap Rania sejenak dan pergi begitu saja meninggalkan Rania.
Tersisa Bibi Dina dan Rania saja di ruangan ini.
“Kau ternyata mengikuti saranku. Bagus, jika kau sadar diri seperti ini.” Wanita itu mengambil uang yang berada di atas meja. Berlalu meninggalkan Rania yang terisak.
“Bunda, Rania juga tidak ingin pergi dari sini.” Lirih Rania tersedu sedan menangis, rasanya ingin sekali berhenti menangis tapi tetap saja, tidak bisa. Yang bisa ia lakukan adalah hanya mengeluarkan air mata.
*Cerita dapat ditemukan di akun wattpad dan karyakarsa : AlderaminChepeus
Rania
Semangat kak