“Nak, kita harus menjual apa lagi ya? Biar uang panti cukup untuk membeli tanah ini. Panti kemungkinan akan digusur jika kita tidak bisa membeli tanah ini.” Ujar Bunda Indah resah, ia adalah salah satu pengurus panti yang sudah seperti ibu Rania sendiri, ibu yang tidak pernah ia jumpai bagaimana wujudnya. Ia yang merawat Rania sampai saat ini.
Rania tercenung mendengar penuturan Bunda Indah mengenai panti asuhan tempat ia tumbuh besar ini. Panti asuhan berdiri pada tanah wakaf, tapi entah kenapa ketika donatur tersebut meninggal dunia. Terjadi beberapa persoalan yang muncul antara ahli waris mengenai tanah panti, sehingga pengurus panti –Bunda Indah membuat perjanjian antara ahli waris dengan pengurus panti, yaitu jika pengurus panti tidak bisa membeli tanah tersebut dalam waktu tiga bulan maka panti asuhan akan digusur.
Dari beberapa bulan belakangan Bunda dan Rania telah melakukan berbagai cara agar bisa mempertahankan panti asuhan, mulai dari meminta banTuan dari pemerintahan, sampai donatur. Tapi masih saja tidak cukup. Selalu saja kurang.
Rania menghembuskan nafas perlahan, ia tahu Bunda Indah sangat khawatir sekarang. Pembicaraan ini selalu ada sejak tiga bulan yang lalu. Melihat adik-adiknya tertawa riang di panti membuat hati Rania terluka, ia tidak bisa melindungi senyuman mereka. Entah bagaimana jadinya jika panti asuhan ini digusur, nasib mereka, sekolah mereka, semuanya. Bisakah ia mempertahankan panti yang sudah menjadi pelindungnya itu sedangkan ia hanyalah karyawan biasa.
Rania hanyalah pramusaji di salah satu restoran ternama di Jakarta, ia serasa mimpi bisa menjadi salah satu karyawan di Restoran mewah dengan mengusung tema masakan Italia, La Sponda. Sudah 6 bulan ia kerja di sini, sehabis shift kerja bahkan Rania harus membantu menjahit di butik milih Nasya, sahabatnya. Rania memiliki sahabat yang menemaninya dari sekolah menengah sampai sekarang, ia sangat bersyukur bisa memiliki teman seperti mereka. Nasya adalah satu-satunya sahabat Rania, ia bahkan tidak mengerti kenapa Nasya ingin berteman dengannya yang tidak satu derajat dengannya.
Dengan kerja keras tersebut bahkan sampai Bunda Indah merasa kasihan melihat bagaimana ia bekerja, Bunda Indah pun ikut membantu dengan menjual makanan, berharap semua itu cukup untuk membeli tanah Panti, nyatanya semua itu tidak cukup.
“Bagaimana kalau minjam dulu Bun, kemungkinan bisa.”
“Kalau minjam di bank harus ada jaminannya Nak, kita tidak punya.” Lirih Bunda Indah, “waktu pembayaran yang ditetapkan anak pemilik tanah tinggal dua minggu lagi, lebih baik kita bersiap untuk kemungkinan terburuk.” Rania hanya terdiam, ia tidak tahu harus melakukan apa lagi, bahkan apapun sudah ia usahakan tapi tetap saja.
“Kita pikirkan lagi ya, sekarang Rania pergi kerja dulu ya Bun.” Gadis itu menyalami Bunda Indah untuk pamit kerja.
Sepanjang perjalanan berangkat kerja Rania memikirkan bagaimana cara melunasi tanah panti, apakah mungkin jika ia meminjam uang kepada Pak Daniel, manajer tempat restorannya bukan?
Ia sangat kebingungan sekarang. Semuanya terasa sangat rumit, seperti tidak ada jalan keluar.
Sesampainya di restoran ia langsung berganti pakaian di loker karyawan dan melihat Kinan, temannya di tempat kerja yang sudah datang juga.
“Mendung amat Neng.” Sapa Kinan, membuat Rania sedikit terperanjat. Gadis ini sangat ceria, meski kehidupannya bisa dikatakan tidak cukup tapi ia sangat optimis, berbeda sekali dengan Rania seringkali ingin menyerah dan menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi pada dirinya.
“Kamu tahulah.” Rania sambil merapikan rambut yang diikat satunya tersebut.
“Masalah panti lagi? Kenapa gak coba minjam uang ke Pak Daniel? Beliau pasti mengerti kok.”
“Aku kepikiran itu juga sih, Nan.”
“Ya udah, nanti abis kerja aku temenin deh ketemu Pak Daniel.”
“Eh, gak perlu Nan. Aku bisa kok sendirian gak papa.”
“Yakin? Kalo enggak aku temenin nih. Andai aku juga punya banyak uang Nia, pasti aku bantu deh.”
“Aku percaya kok, kamu pasti bantuin aku. Makasih ya, atas sarannya.” Ucap Rania tulus, sedangkan Kinan hanya tertawa.
“Kayak sama siapa aja sih Nia, santai. Semoga Pak Manajer mau ya, minjamin uangnya.”
“Amin.”
Pak Daniel adalah manajer di restoran ini, istilahnya tangan kanan pemilik restoran. Beliau sangat baik kepada para karyawannya, tak jarang ia mentraktir karyawan di sini jika ada kabar bahagia salah satunya jika pengunjung restoran meningkat drastis. Karena umur beliau awal 30an dan memiliki wajah diatas rata-rata membuat para karyawan banyak mengaguminya dan itu juga salah satu penyebab kenapa restoran ini tidak pernah sepi pengunjung.
Suasana restoran hari ini sangat ramai, bahkan ia dan Kinan sampai kewalahan. Ada beberapa pegawai lain di restoran ini, selain mereka berdua. Akan tetapi ia dan Kinan sangat dekat satu dengan yang lain, mungkin karna ia dan Kinan merasa memiliki kehidupan yang hampir mirip. Berasal dari masyarakat kelas bawah dan keinginan menjadi masyarakat kelas menengah yang tidak ada, bahkan dalam khayalan pun tidak. Karena mereka tahu, kehidupan seperti tidak adil kepada mereka. Kinan, orangTuanya bercerai karena ayahnya sering memukuli ibunya, selain karna ayahnya ringan tangan, judi menjadi alasan kenapa ayah dan ibunya bercerai. Ibunya tidak sanggup harus hidup bersama ayahnya, untuk meyakinkan ibunya untuk bercerai dengan ayahnya pun Kinan harus mengancam bunuh diri dulu. Sehabis bercerai, semua masalah tidak selesai sepenuhnya. Kinan dengan traumanya, ibunya jatuh sakit dan hutang yang menggunung karna ayahnya melarikan diri entah kemana. Kehidupan yang pahit, tapi tidak menyurutkan semangatnya, terkadang Rania sangat kagum terhadap Kinan, kuat sekali wanita mungil itu.
Pekerjaan Rania sudah selesai, ia dan Kinan berjalan bersama ke loker karyawan untuk mengganti baju, Kinan menepuk pundak Rania pelan, melihat gurat khawatir dari gadis tersebut.
“Udah, Ran. Coba aja, kalau gak bisa coba cara lain.” Kata Kinan menyemangati.
“Iya Nan, semoga ya…”
“Semangat!” ucap Kinan sembari mengepalkan tangan dihadapan Rania.
Rania tersenyum melihatnya, selesai berganti pakaian. Ia bergegas untuk mendatangi Daniel, yang biasanya ada di ruangannya. Menarik nafas pelan, Rania mengetuk pintu yang ada di depannya.
Mendengar seruan dari Daniel membuat Rania masuk perlahan ke dalam ruangan Daniel. Daniel yang ternyata duduk di sofa, menghampiri Rania. Yang tidak disadari oleh Rania adalah ada orang lain yang ada di dalam ruangan tersebut selain ia dan Daniel.
“Ada apa Rania?” tanya Daniel dengan ramah, Rania yang gugup memilinkan tangannya. Entah apa yang harus ia katakana sekarang, selain itu tatapan tajam dari seseorang membuat ia ingin mengurungkan niatnya.
“Oh, Pak Daniel ada tamu ya? S-saya nanti saja Pak-”
“Bicara sekarang saja, anggap saya tidak ada di ruangan ini.” Suara itu, semakin membuat Rania gugup.
“Iya, Rania bicara saja atau kamu ingin duduk?” ujar Daniel sambil tersenyum.
“E-enggak Pak, mau tanya sebentar saja, apakah bisa saya ambil gaji saya bulan ini lebih cepat dari biasanya?”
“Oh itu, bisa, apalagi kerja kamu bagus. Besok ya…” Tutur Pak Daniel ramah, Rania mengundurkan diri dan tersenyum ke arah pria itu. Melangkahkan kakinya dengan kecewa untuk pulang.
Rania duduk terdiam, di swalayan dekat restorannya. Ia baru saja membeli beberapa keperluan panti, dan lagipula ada diskon besar-besaran di swalayan tersebut, yang sayang untuk dilewatkan untuk membeli peralatan panti sekaligus untuk menghemat pengeluaran. Ia memikirkan apa yang terjadi tadi, seharusnya ia memberanikan diri saja untuk meminjam uang kepada Daniel dan kenapa lelaki itu ada di dalam ruangan Daniel.
Suara kursi berderit membuat Rania mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang duduk di hadapannya.
Dengan gaya angkuh lelaki ini mengangkat alisnya, seakan memberitahukan betapa ia mempunyai kekuasaan dan uang yang tidak pernah habis.
“Kenapa?” ucapnya.
Lelaki ini?!
*Cerita dapat ditemukan di akun wattpad dan karyakarsa : AlderaminChepeus
Siapakah dia??
Wah
Dzolim sekali
Bisa-bisanya hak anak yatim diganggu. Semangatt Raniaa
Tks y kak udh update.
Weeehh weeh apa ini ba tiba angkat alis
belike