-Bulan Merah-
Adelaide sedang masuk ke ruangan gelap itu, ketika Eden, tanpa diketahui Adelaide, sedang duduk di sofa di pojok ruangan, memperhatikan semua gerak gerik perempuan itu.
“Apa yang mau kau lakukan?” kata Eden, bersamaan dengan dihidupkannya lampu duduk di dekat sofa.
Adelaide yang terkejut, langsung meloncat mundur dan menoleh ke sumber suara. Barulah, ketika dia mengetahui bahwa orang tersebut adalah Eden, teman lamanya, dia bisa menarik nafas lega dengan memegang dadanya.
“Astaga, Eden. Kau membuatku terkejut.” Katanya, dengan nafas yang masih berusaha ia atur.
Eden berdiri, mendekati perempuan itu, kemudian mereka berdua saling berpelukan.
“Kau selalu jatuh ke jebakan yang sama setiap tahunnya.”
“Maaf, ya! Tapi baru tahun ini!”
“Dan juga tahun kemarin!”
“Eh? Y-ya—iya, sih.”
“Hahaha. Lupakan deh, lupakan. Kapan kau datang?”
Mereka pun mulai membicarakan banyak hal tentang pengalaman-pengalaman yang tak sempat mereka berbagi dalam surat, dan juga yang pernah mereka saling ceritakan dalam surat. Pula mereka selingi dengan tingkah laku, gerakan-gerakan, yang sekiranya bisa menjelaskan apa yang sedang mereka ceritakan.
“Dan penjual itu—bagaimana responnya?” tanya Adelaide.
“Dia terdiam, dan seketika dia sadar dia dibodohi, barulah dia melemparkan batu ke kepala pemuda brengsek itu.”
Keduanya tertawa bersamaan—sebuah tawa yang jarang terjadi; yang hanya terjadi setahun sekali.
Setelah mereka selesai tertawa, barulah Eden melanjutkan perbincangannya.
“Aku senang kau baik-baik saja, Adelaide.”
“Aku juga.” Kata Adelaide.
“Juga apa?”
“Juga senang karena aku baik-baik saja. Hahahaha.”
Eden menghela nafas.
“Kau, ya. Sekali tertawa, maunya tertawa terus.”
“Tak apa—tertawa tak pernah membawa bencana.”
“Akan membawa derita jika yang kau tertawai ialah orang asing yang terjatuh di depanmu.”
“Eh—“ Adelaide diam seketika. “Iya juga, sih. Sepertinya aku harus mencari alasan-alasan lain.” Dan dia tertawa kembali.
“Oh iya,” kata Adelaide, “Apakah kau melihat bulan merah semalam?”
Eden mengangguk.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Adelaide kembali.
“Aku menikmatinya. Oh iya, Adelaide—“
“Aku tahu kau pasti menikmatinya! Bahkan aku berharap bahwa aku bisa menemukan ramuan awet muda.”
“Loh? Apa maksudmu?”
“Agar aku masih hidup ketika bulan merah terjadi kembali.”
“Kau ini. Ngomong-ngomong soal bulan merah, ada—“
“Aku tahu. Kau pasti merasakan ketenangan, kan? Aku juga begitu—aku merasakan yang sama.”
“Bukan begitu.”
“Loh?”
Belum sempat Eden melanjutkan kalimatnya, seorang perempuan masuk ke ruangan itu. Kehadiran perempuan itu membuat kesunyian seketika … hanya untuk beberapa saat.
“Loh?” tanya Adelaide, melihat ke perempuan itu.
“Eden?” tanya si perempuan.
“Astaga.”
Keduanya saling menoleh untuk sesaat, kedua perempuan itu: menoleh ke perempuan lainnya, lalu ke Eden. Sedang Eden hanya menutupi wajahnya dengan tangannya.
“Eden,” mulai Adelaide, “Siapa dia?”
“Itulah yang ingin kujelaskan dari tadi, Adelaide.”
***
Angin sedang berhembus dari utara ke selatan, ketika orang-orang di kota itu sedang menikmati fenomena aneh nan langka yang sedang terjadi di langit, tempat bintang bertaburan, yakni bulan berwarna merah.
Kejadian ini telah menggegerkan seluruh penduduk kota: mereka yang merupakan hamba taat berkhotbah di depan alun-alun bahwa Tuhan memberi peringatan akan dosa-dosa manusia melalui bulan berwarna merah tersebut—merah diartikan sebagai darah—sedang para borjuis yang bergelimpangan harta, takut bahwa ini pertanda wabah—pula diartikan bahwa merah itu melambangkan darah—dan mulai menyemprot-semproti sampai setiap sudut ruangan dan menyuruh tidur anak-anaknya demi memastikan keselamatan keluarga mereka, dan menghindari penggunaan uang yang berlebihan. Ya, ada masalah ekonomi yang sedang berlangsung di kota itu.
Di sisi lain, para Pengamat Langit sedang kerepotan menganalisa penyebab memerah-nya bulan tersebut. Ini fenomena yang pertama kali mereka temui, dan tak ada naskah kuno maupun penelitian sebelumnya yang membahas pasal fenomena tersebut. Sedang Eden, yang tidaklah termasuk Borjuis, Pengamat Bintang, maupun hamba taat, menikmati fenomena itu biasa-biasa saja dari hutan—tempat yang menurutnya merupakan satu-satunya tempat untuk menikmati ketenangan. Burung hantu berbunyi menemaninya, begitu pula rusa-rusa yang lari kian kemari, malu menemui lelaki tersebut.
Dia sedang menikmati cahaya merah yang terpatri dari langit itu: cahaya yang tak pernah terjadi, dalam artian baru kali ini terjadi, dalam sejarah umat manusia. Dia menemukan bahwa fenomena ini sangat menarik baginya. Namun, ketertarikan ini terganggu begitu ada suara ‘gedebuk’ yang didengarnya, tak jauh dari tempat dia berdiri. Dia langsung berpikir: apakah burung hantu yang mati? Karena baru saja, salah satu dari suara burung hantu yang menghiasi kesunyian hutan itu, hilang begitu saja. Dia langsung lari ke arah suara itu berasal, dan di sana, dia mendapatkan seorang perempuan, dengan rambut terurai, berpakaian mewah namun aneh, terbaring di tanah, dengan mata tertutup.
Melihat rusa di hutan, itu sudah biasa; melihat beruang mengusir para ‘penjajah’ pun itu sudah biasa. Tapi melihat perempuan, malam-malam di tengah hutan, dengan pakaian mewah namun aneh, juga dengan rambut indah terurai, itu tak terbiasa.
Ia berencana membangunkan perempuan tersebut namun tak sempat, karena perempuan itu terbangun lebih dahulu.
Tak semulus seperti romansa omong kosong yang akhir-akhir ini laris di pasaran, perbincangan kedua orang asing itu sangatlah menggelikan. Namun, setelah pertengkaran kecil itu, Eden berhasil membujuknya pergi bersamanya. Dan diketahui pula bahwa nama perempuan itu adalah Skyla. Nama yang aneh, tentunya.
“Pertama-tama, aku tak bisa mencarikan penginapan untukmu malam ini.”
“Kenapa?” tanya perempuan itu curiga.
“Karena penginapan satu-satunya yang terdekat ada di pusat kota.”
“Bukankah kau berjanji akan mencarikan tempat yang lebih aman untukku?”
“Dan itu alasan kedua: pusat kota tak aman akhir-akhir ini.”
“Benarkah?”
Eden mengangguk.
“Menginaplah di rumahku; besok, aku akan mengantarmu ke tempat dari mana kau berasal.” Kata Eden, juga bagaimana bisa seorang perempuan mengenakan pakaian aneh seperti itu, pikirnya.
Perempuan bernama Skyla itu berhenti.
“Loh? Kenapa?” Eden bertanya. Ia ikut berhenti, lalu menoleh ke perempuan tersebut.
“Aku mau.”
Dramatis sekali, pikir Eden.
Dan begitulah ceritanya, bagaimana dia bisa tinggal di rumah Eden. Dia menginap di sana, dengan ruang khusus—ruang tamu yang jarang dipakai.
***
“Begitulah ceritanya, Adelaide.” Jelas Eden, sambil menoleh ke Skyla.
“Begitu, ya? Kenapa kau tak bilang dari tadi?” tanya Adelaide.
“Karena kau sibuk bicara soal Bulan Merah.”
“Ehe-he.”
Eden yang teringat, langsung menoleh ke Skyla:
“Kupikir, sesuai kesepakatan, kau akan menceritakan padaku asalmu bukan, Skyla?”
Perempuan bernama Skyla itu menoleh ke Eden, lalu mengangguk. Beginilah dia bercerita.
urutan baca part nya gimana y kskakk…. aku bingung. … padahal aku suka bgt cerita nya.
Bingung