Michael hampir saja menjatuhkan rahangnya saat melihat bangunan didepannya. Lelaki itu beberapa kali mengucek matanya—dengan punggung tangan—untuk memastikan ini bukan mimpi. Apa yang ada di hadapannya bukan mimpi.
Dari tempatnya berpijak, sekitar 50 meter di depannya ada sebuah kolam bundar dengan patung berbentuk bulat di tengah-tengahnya. Kolam itu hanya sebesar 3×3 meter, dan patung bulat berwarna hitam legam itu diameternya hanya sepanjang dua meter. Dari atas patung bulat itu keluar air mancur yang membasahi seluruh permukaannya dan membuat riak kecil. Air mancur itu adalah titik temu dari 4 jalan yang saling berpotongan.
Di belakang air mancur adalah gerbang bangunan tempat Michael berpijak sekarang. Di sisi kanan air mancur terdapat jalan sepanjang 30 meter dan berakhir di sebuah bangunan yang bertuliskan “Asrama Wanita” di atasnya. Bangunan itu bercat warna merah muda yang lembut. Sangat mengekspresikan sisi lembut seorang wanita.
Sedangkan di sisi kiri air mancur, juga terdapat jalan sepanjang 30 meter dan berakhir di sebuah bangunan yang bertuliskan “Asrama Pria” di atasnya. Bangunan itu tak kalah megahnya dengan cat berwarna biru tua. Sangat melambangkan jiwa seorang pria yang pemberani namun mempunyai sisi lembut.
Michael mengernyit. Ia melirik sekali lagi ke arah tulisan Asrama Pria dan mengerutkan dahinya. Jelas sekali tulisan itu tidak pernah ia lihat sebelumnya. Tapi… tapi kenapa ia bisa membacanya begitu saja? Michael menggeleng tak mengerti.
Di depan air mancur yang menjadi penengah dari 4 jalan, sekitar 50 meter ke depan terdapat sebuah bangunan yang lebih besar dari pada kedua bangunan tadi, dan lebih megah. Michael meneliti bangunan itu dari tempatnya berpijak. Bercatkan abu abu dan menjulang tinggi dengan empat lantai. Tampak seolah ‘Jantung’ dari semua bangunan yang ada di sini. Di kiri dan kanan bangunan utama itu masih ada bangunan lain dengan dua lantai tapi Michael tidak bisa membaca nama bangunan itu dari jaraknya sekarang.
Michael menyadari bahwa disekitarnya tidak ada orang. Hanya dirinya sendiri. Ia pun membalikkan tubuhnya menatap gerbang bangunan yang menjulang tinggi, dua kali lipat tubuhnya dengan desain unik dengan bahan besi hitam. Dia membaca tulisan yang ada di sisi kanan gerbang.
“Azaworth Academy.” Begitulah yang tertulis disana. Michael mengerutkan dahinya bingung.
Sekolah? Kenapa aku ada disini?
Hal terakhir yang Michael ingat adalah ia masuk ke dalam lingkaran hitam yang terbuka di dinding rumah sakit. Dan begitu ia membuka mata, dirinya sudah berdiri disini, seorang diri.
Jika ini sekolah, dimana siswa siswi ? guru ? bahkan satu binatangpun tak terlihat. Sunyi.
Tap. Tap. Tap.
Bunyi derap langkah menyadarkan Michael dari lamunannya. Ia masih menghadap gerbang dan membalikkan tubuhnya kekiri, arah bangunan Asrama Putri. Benar, pemilik dari derap langkah kaki itu bejalan ke rahnya dan berhenti dengan jarak 3 meter.
Michael mengernyit melihat seorang wanita cantik tersenyum kepadanya. Wajah itu tampak tidak lagi muda. Namun masih memancarkan kecantikan alami. Wajah yang tampak sangat ramah menurut Michael.
Michael masih terdiam sambil menatap wanita itu dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Wanita itu tampak anggun dan memancarkan aura keibuan. Yang entah kenapa membuat Michael tak merasa terancam.
Wanita itu mempunyai rambut pendek—lurus sebahu—berwarna hitam dengan model bob. Tingginya sama dengan Michael, tapi mengingat di kaki wanita itu terpasang ‘sepatu kutukan’—julukan high heels bagi Michael—jadi mungkin wanita itu sedikit lebih pendek darinya. Wanita itu memakai blus berwarna putih yang tertutupi blazer hitam dan rok pas menutupi lutut berwarna senada dengan blazernya.
Matanya tajam namun memancarkan keramahan. Michael menelan salivanya susah payah. Dia tak mengerti mengapa dirinya berada di sini, atau, bagaimana ia bisa sampai disini.
Wanita itu berdiri dengan jarak 3 meter dari tubuh Michael. Membuat Michael berfikir jika wanita itu bertindak macam macam maka dirinya masih mempunyai peluang untuk melarikan diri. Namun apa yang Michael pikirkan hanya lelucon untuk dirinya sendiri. Lari? Lari kemana?
“Michael Arta?” tanyanya dengan penuh wibawa. Michael mengangguk bingung.
“Ikuti aku,” ucapnya kemudian membalikkan tubuhnya berjalan ke arah bangunan utama. Mau tak mau Michael harus mengikuti wanita itu. Jarak dari ia berpijak dengan air mancur mungkin sepanjang 20 meter. Jarak dari air mancur ke bangunan utama itu sekitar 50 meter. Sepanjang perjalanan, Michael berusaha mengingat apa yang dialaminya hingga bisa terdampar disini, ditempatnya berpijak sekarang.
Saat itulah, dia ingat semuanya. Kejadian di rumah sakit. Keadaan Vero yang kritis. Seorang wanita misterius. Dan juga alasannya berada di tempat ini. Sekarang Michael ingat bagaimana cara dirinya bisa terhempas kesini. Sekarang dirinya ingat alasan yang membuat dirinya berada disini. Bisa mengingat itu semua membuat Michael tenang dan mengikuti wanita itu dalam diam.
Mereka berdua menaiki beberapa anak tangga yang lebar sebelum sampai ke pintu utama yang besar dan megah. Wanita tadi membuka pintu, tepatnya mendorong pelan pintu itu dan entah hanya perasaan Michael, tapi kedua daun pintu itu terbuka sendiri. Michael melangkahkan kakinya memasuki bangunan itu, mengikuti wanita yang menuntunnya di depan.
Michael mengenyit. Keadaan di dalam bangunan ternyata sangat berbeda dengan keadaan di luar. Di dalam sini sangat ramai oleh siswa siswi yang berlalu lalang. Ada yang sedang bercanda, berbicara, dan ada yang hanya sekedar berjalan sambil mendekap buku di dadanya.
Bagian dalam bangunan ini bahkan lebih megah dari pada luarnya.
Sambil menaiki tangga dan memperhatikan sekelilingnya, pikiran Michael berkelana jauh, mengingat beberapa hari lalu.
***
Michael menarik nafas dalam-dalam, sebelum tangannya terulur menyentuh knop pintu. Michael membuka pintu kamar itu perlahan. Dindingnya bercatkan warna putih—warna kesukaan Vero. Kamar beraromakan obat—yang sangat dibenci Michael—tempat tinggal Vero selama dua tahun ini.
Vero adalah kekasihnya, satu-satunya wanita yang ia cintai. Satu-satunya wanita tempat ia melabuhkan hati. Kini wanita itu terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang, dengan alat-alat kedokteran yang menempel di sekujur tubuhnya. Menggantungkan hidupnya dengan selang-selang yang menekan sarafnya.
Michael mengganti bunga di atas nakas dengan bunga yang baru saja ia beli di seberang toko. Sekuntum bunga Edelwis dengan arti harapan. Ya, Michael tak pernah lelah berharap akan kesembuhan Vero. Selesai, Michael beranjak ke sisi ranjang dan duduk disana, meraih tangan Vero yang terbebas dari selang infus dan menggenggamnya lembut.
Michael menatap wajah tirus itu. Kulitnya tidak pernah terkena sinar matahari lagi selama setahun tampak pucat. Bibirnya yang dulunya terawat sekarang tampak pecah pecah dan menghitam.
Michael mendesah frustasi. Dia dan keluarga Vero sudah melakukan apa saja untuk bisa menyelamatkan gadis itu. Namun apa yang mereka lakukan selama ini sia sia. Tak ada yang tahu penyebab Vero koma selama setahun ini.
Hari itu—setahun yang lalu—adalah hari ulang tahun Vero. Michael dan Vero baru saja pulang dari kencan sepulang sekolah. Setelah mengantarkan Vero ke depan rumahnya, Michael pun pulang sambil tersenyum bahagia.
Tapi sejam kemudian, Michael di telepon oleh Weira—ibu Vero—dan diberi kabar kalau Vero sedang dalam perjalan menuju rumah sakit. Michael terkejut, langsung bergegas pergi ke rumah sakit yang dimaksud Weira. Sesampainya disana, yang Michael lihat dari balik dinding kaca adalah Vero yang terbaring di ranjang dengan alat-alat medis di tubuhnya. Dari keterangan yang diberikan Weira, gadis itu koma. Vero ditemukan tak sadarkan diri di depan pintu rumah saat pembantunya melihatnya.
Mereka—keluarga Vero—berfikir Vero kelelahan dan pingsan. Namun pernyataan dokter tidak sesederhana itu. Dokter mengatakan bahwa semua organ dalam tubuh Vero baik baik saja. Tidak ada kerusakan apapun. Tubuh bagian luarnya juga tidak terdapat luka sedikitpun, kecuali benturan di kepala saat ia tiba-tiba jatuh.
Mereka tak putus asa. Seno dan Weira—ayah ibu Vero—pernah membawa Vero ke Amerika dalam rangka pengobatan. Mereka berharap bahwa dengan berobat kesana—setidaknya—mereka tahu apa yang menyebabkan Vero pingsan. Namun usaha mereka lagi lagi gagal. Bahkan dokter terbaik disana menyerah terhadap Vero. Mereka berkata, “Kondisi anak Anda sangat aneh. Tubuhnya baik-baik saja, organ dalamnya pun. ” Hal yang sama yang telah di katakan oleh dokter setempat.
Keluarga Vero sudah pasrah. Mereka hanya bisa merawat tubuh Vero dirumah sakit selama setahun. Menunggu hari dimana Vero bisa membuka lagi matanya dan tersenyum untuk mereka semua.
***
“Bagaimana keadaannya?” Michael menoleh, menemukan sahabatnya sedang menanti jawaban. Michael menggeleng lemah. “Tidak ada kemajuan.”
Aiden adalah sahabatnya sejak ia menginjakkan kaki di SMA ini. Mereka entah kenapa menjdi akrab hingga sekarang. Aiden juga mengetahui tentang Vero, dari cerita yang dituturkan Michael selama ini.
***
Hari ini sepulang sekolah Michael menyempatkan dirinya menjenguk Vero. Hal yang selalu dilakukannya tanpa merasa bosan. Dan tak akan pernah merasa bosan. Dia duduk dibangku yang ada di samping ranjang. Menggenggam erat tangan Vero.
Sejenak terlintas di kepalanya sikap ceria dan lembut Vero. Senyumnya yang selalu merekah. Candanya, tawanya, semua menjadi candu bagi Michael. Membuat Michael jatuh cinta padanya dalam waktu yang singkat.
Mereka memulai hari hari mereka dengan indah. Ada pertengkaran kecil karena sikap kekanakan Michael. Tapi mereka selalu bisa berbaikan dengan cepat. Mereka kencan. Pergi bersama. Pulang sekolah bersama. Hari hari terasa sangat indah dengan Vero disampingnya. Dan saat kejadian itu, hari hari Michael terasa hampa, kosong. Dia tak tahu harus tersenyum bagaimana. Dia hanya bisa diam dan termenung.
“Vero, kapan kau bangun?” Michael berujar pelan. Masih berharap bahwa gadis pucat di depannya akan membuka matanya dan memberikan senyuman manisnya. Tapi Vero tak merespon.
“Kau tak merindukan teman-temanmu? Gurumu? Orang tuamu? Dan bahkan kau tak merindukan… aku?” ucap Michael menguatkan genggamannya. Matanya berkaca kaca.
Michael cepat cepat menormalkan mimik wajahnya saat pintu kamar itu terbuka perlahan. Menampilkan seorang gadis cantik yang tidak pernah dilihat Michael sebelumnya.
Gadis itu memiliki rambut lurus sepunggung, dicat coklat. Wajahnya tampak ramah. Mungkin ia sebaya atau bahkan lebih muda dari pada Michael.
“Michael…? Bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya pelan sambil melirik Vero yang terbaring di ranjang, maksudnya adalah, agar tidak mengganggu Vero. Michael mengerutkan dahi. Apa wanita ini temannya Vero? Tapi kenapa baru hari ini ia melihatnya setelah Vero koma selama setahun?
Tapi Michael mengangguk dan mengikuti gadis misterius itu.
***
Rahasia