Vitamins Blog

Yang Terdalam

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

You’re only getting farther

You’re the only one

It hurts and hurts and it’s foolish but good bye

Though I may never see you again, you’re the only one

(Only One oleh BOA)

 

 

Sendirian, aku memandang aneka balon yang tergenggam di tangan. Satu per satu kulepaskan balon-balon yang mewakili perasaanku; harapan, kebahagian, dan doa yang tak pernah tersampaikan. Sekian menit aku termangu menatap langit yang tak lagi menampilkan awan-awan putih.

Langitnya menangis, sementara aku berdiri dalam hening; membiarkan butiran air membasahi tubuhku, merasakan nyeri yang menjalar di dada, dan terhanyut dalam derasnya rintik hujan yang berderai. Aku tak peduli pada tatapan orang sekitar yang heran pada seorang gadis yang berdiri dalam hujan. Sungguh pun aku tak mengerti mengapa jantungku berdegup lemah setelah memilih menyudahi hubungan di antara kita. Walau akhirnya aku yang menangis menyesali keputusan ini, tetap saja, separuh dari diriku berharap kau bisa mengerti, memahami apa yang sebenarnya aku inginkan dari dirimu.

Gigilan dingin mulai menjalari tubuhku; rasa sakit pun tak mampu meruntuhkan sepi yang menyelimuti hati. Berulang kali kata bodoh melintas di benak dan aku merasa kepayahan menerima kenyataan.

Cinta namun hanya aku seorang yang merasa sakit.

Sayang namun hanya diriku saja yang merasa rindu.

Ke mana perginya kepedulianmu? Atau semua perhatian itu tidaklah nyata? Hanya sekedar ada di anganku saja?

Aku mendekap serpihan perasaan yang mungkin masih tersisa untukmu. Rindu, sayang, kepedulian; terserah kata mana pun yang akan kaupilih untuk mendeskripsikan debar hati ini. Dan yang terpenting: masihkah apa yang aku miliki ini berarti untukmu?

Langitnya masih menangis….

Dan aku tertinggal seorang diri.

 

***

 

“Balon?” tanyaku. Pandanganku beralih dari aneka balon yang berbaris rapi di sekitar taman, tempat janji temu antara diriku dan Panji, kawanku. Atau mungkin suatu saat label “kawan” itu akan berganti dengan sesuatu yang lebih manis semacam teman dekat atau kekasih. Tampaknya hal terakhir itu masih jauh dari kenyataan. Atau bolehkah aku berharap keinginanku segera terpenuhi?

Panji, pria dengan sepasang lesung pipit yang memikat. Ia memintaku menjumpainya seusai kuliah. “Di taman dekat kampus,” begitu katanya padaku. Kini aku berdiri dengan tatapan takjub—memindai deretan balon dan jejeran mawar yang menghias taman.

“Bella,” kata Panji. Kedua tangannya terlipat di belakang punggung laiknya anak kecil yang menyembunyikan mainannya. Sebuket tulip merah pun muncul dalam genggaman tangan Panji. Tentu saja aku mengerti arti dari bunga tersebut, “Maukah kau mencintaiku?” Apakah ini mimpi? Jangan berakhir, teriakku dalam hati. Mimpi ini tak boleh berakhir. Aku tak ingin terbangun dan menyesal.

“Pa-Panji,” kataku tergagap.

Jantungku berdebar kencang saat Panji mengutarakan, “Aku menyukaimu.”

Rasa hangat menjalar dan aku tak mengerti sensasi menyenangkan ini, seolah ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutku.

“Ya,” jawabku.

 

***

 

Jatuh cinta membuat segala hal terasa menyenangkan untuk kupandang. Hari-hari yang dihabiskan hanya untuk sekedar bertegur sapa dengan Panji pun sudah cukup membuatku merasa menjadi wanita terbahagia di dunia. Tak pernah satu kali pun aku jenuh menanti Panji.

Sayang, segala hal di dunia ini memiliki masanya; awal dan akhir.

Tak pernah terbersit sedikit pun keraguan saat mengawali hubungan yang aku kira akan bertahan. Aku tahu apa yang aku inginkan, begitupula Panji. Bukan tanpa sebab Tuhan memberikan hati kepada manusia. “Kenapa kau mencintaiku?” Pertanyaan semacam itu tak pernah terlontar dari bibirku, bahkan di saat keraguan mengahampirimu, Panji.

“Tak ada kecocokan,” katamu padaku. Panji, aku tak mengerti maksud dari “kecocokan”? Bukankah dalam membina sebuah hubungan tidak diperlukan alasan penegas lain semisal, kesamaan, kekayaan, dan yang lainnya? Panji, mengapa kau menatapku dengan tatapan jeri seolah akulah yang telah menyebabkan ketidaknyamanan ini? Kenapa kau terkesan seperti ingin menyalahkanku?

Entah bagaimana sekarang kita berdua duduk bersama. Dirimu di seberang meja mulai memilah beragam penjelasan yang pada akhirnya tak satu pun dari alasan itu akan kuterima.

“Aku tidak mengerti,” kataku.

Ada begitu banyak kata yang ingin aku lontarkan, namun aku sengaja menahan seluruh kejujuran itu sebab aku yakin kau tak ingin mendengar penolakanku.

Kita berdua bersama, namun hati kita tak lagi sama. Ada sesuatu, seseorang, entahlah, aku tak yakin dengan apa yang kini kauinginkan. Aku bahkan tak lagi mampu mengenal dirimu. Panji-ku, untuk apa kau ingin bersama denganku bila akhir yang kaupilih sebagai penutup kisah cinta ini?

“Aku tak bisa,” katamu. Menunduk, kau mulai menghela napas dan berkata, “Aku rasa inilah yang terbaik.”

Panji, mudah bagimu memutuskan bahwa segalanya telah berakhir. Kau tak mendengar suara retak—hatiku yang hancur berkeping-keping.

Rasa panas menyengat kedua mataku, dengan berat hati aku berkata, “Terima kasih atas segalanya.”

 

***

 

Lebih baik melepaskan ia yang tak lagi memiliki hati padaku daripada aku tersiksa dengan sebuah pengharapan kosong.

Hujan ternyata tak mampu menghapus kenanganmu. Dan itu membuatku marah; diriku terasa kerdil dan tak berdaya. Hati ini masih saja memanggil namamu, sementara kedua tanganku tak lagi mampu menggenggam jemarimu. Aku bahkan ragu bila kau juga merasakan rasa sakit yang sama dengan milikku.

Aku tak ingin membencimu. Panji, seberapa keras usahaku mencari pembenaran atas keputusanmu, tetap saja aku tak bisa….

Berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja.

Melepaskan adalah satu-satunya cara agar aku terbebas dari kesengsaraan. Itulah yang tak kau mengerti dari seorang wanita, Panji. Kau mungkin melihat kami tersenyum makfum dengan segala akhir percintaan yang diderakan kepada kami, namun jauh di dalam hati, kami pun tak bisa menahan derita.

Itulah yang tak kaulihat padaku.

Seperti balon-balon yang terbang bebas di langit sana, aku pun tahu jemariku tak lagi mampu menggenggam dirimu. Ini bukan kebodohan. Keputusan untuk melepaskanmu, seseorang yang pernah menempati ruang di hatiku, merupakan cara terbaik bagi kita berdua.

Merelakan dan melepaskan; kedua hal itu terasa menyakitkan namun hanya itulah obat terampuh yang akan menguatkan diriku.

Panji, kau akan selalu menjadi sosok terpenting.

Selamanya….

 

6 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Mkshhhh ka ???
    Fix nyesek ini
    Ngapa klo minta dibikinin yg nyesek2 lancar bngt ya ide ny, yg so sweet aja susah bngt kykny dah ahh haha
    Sukaaaaa dah pokokny
    Panji ohh Panji, kembalilah padaku ehhh haha
    Yg berikutnya so sweet dongs ka
    Yg bikin melting ting ting ting gtu ?

  2. Aduh kok nyesek banget yaaa???

  3. Irey_Kiara menulis:

    ??????

  4. fitriartemisia menulis:

    duuuuuhhh, baper pengen nonjok Panji #eh

  5. syj_maomao menulis:

    Ibarat kata ini tuh I let you go doesn’t mean I want to, but I have to :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI

  6. Baper sekali …?