Aku mengeratkan sweater yang ku kenakan, merasakan angin dingin yang mulai menusuk-nusuk di kulitku. Kenapa malam ini dingin sekali? Langkahku pelan melewati beberapa pohon mangga yang di tanam berjejer dengan daun lebat. Juga sebuah jalan setapak yang bisa di lalui dengan mudah.
Saat aku mendongak dan menemukan laki-laki itu tengah duduk di ayunan dimana aku duduk dengan Mba Dea tadi sore membuat aku menghentikan langkah. Entah kenapa mengamati dia dari jauh seperti ini selalu terasa mudah?
Angin malam membuat rambutnya yang memang sudah berantakan semakin membuat berantakan saja, apalagi saat dia tengah tertunduk dan mulai menjalin kedua jari-jari tangannya. Dia masih sama, pemuda manis yang sama. Lelaki yang memiliki ciuman pertamaku, lelaki yang akan membuat aku rela melawan dunia untuknya. Jika saja, takdir masih bisa berbaik hati memberikan aku sedikit cintanya. Sedikit hatinya di antara segala rasa gundah akan kehadiranku.
Satu hantaman pakta selalu bisa membuat debar jantungku menjerit, membiarkan beberapa tetes airmata menemani. Dia milik orang lain, cintanya milik orang lain. Aku tidak bisa mengenyahkan pakta kalau aku sedang jatuh cinta pada orang yang salah. Orang yang telah terlanjur memberikan cintanya pada satu-satunya wanita yang tidak pernah bisa aku tandingi. Dulu sampai sekarang.
Aku mengusap airmata yang membasahi pipiku, berdehem kecil untuk mengenyahkan rasa tidak nyaman. Lagi aku melanjutkan langkah untuk berada cukup dekat dengan area tatapannya.
Andre mendongak, menatap aku dengan cara yang sama. Tatapan datar yang selalu membuat aku yakin kalau kehadiran ku hanya sebuah beban untuknya. Hadirku hanya menjadi pengekang untuk dia yang tak mencintaiku.
“Duduklah Luna.” Dia meminta, menepuk ayunan kosong yang ada di sebelahnya. Aku menuruti, tak ada alasan untuk mengelak dari apapun yang hendak dibicarakan laki-laki yang sekarang menatap aku.
Aku menunduk, tidak pernah suka dengan tatapan yang satu ini. Dua hal cara Andre menatapku, pertama tatapan datarnya. Kedua tatapan meneliti seolah berharap mampu membaca pikiran agar dia bisa membacaku dengan mudah.
Apa yang ingin dia baca dariku? Keegoisanku akan keinginan memiliknya? Atau malah apa aku wanita tidak tahu diri yang masih berharap cinta pada hal yang tidak mungkin? Jika dia memang ingin tahu salah satu dari itu maka dengan senang hati aku akan menjawab andaikan dia bertanya.
“Apa yang kamu pikirkan Luna? Dengan membiarkan Mami aku membawa kamu kesini.” Setelah terdiam cukup lama, yang mungkin merangkai kata dalam kepalanya untuk dikatakan padaku agar aku tidak terluka. Tapi tetap saja luka itu menyayat ku, sebegitu tidak inginnya dia aku di sini? Memang aku wanita yang tak tahu malu. “Kamu bisa menghubungi aku tentang kedatangan mami. Kuharap kamu memang masih menyimpan nomorku.” Ternyata rasa sakit itu tak sampai di sana, Andre kembali berucap dengan nada tajam. Apalagi akhir kalimatnya membuat tubuhku kelu.
Aku meremas jemariku, merasakan sensasi ingin berlari menjauh dari lelaki yang kurasa masih menatapku. Sejauh mungkin. “Aku tidak kepikiran untuk menelpon kamu.” Balasku dengan nada lesu.
Andre mendesah. “Aku akan menyelesaikan ini semua, kamu hanya perlu tinggal beberapa hari lagi di sini.” Nada akhir Andre hampir membuat aku memegang dadaku tapi tanganku masih bisa ku cegah. Tidak, laki-laki ini tidak akan bisa membuat aku terluka lebih banyak lagi dari semua ini.
“Kuharap kamu menyelesaikan semuanya dengan cepat.” Aku menimpali langsung beranjak dari sana dan berjalan dengan cepat. Aku bahhkan heran dengan diriku karena tidak tersandung, karena aku yang berjalan tanpa mau repot-repot melihat kemana aku melangkah.
Setelah merasa cukup jauh dengan Andre, dan tidak terlihat oleh matanya. Aku memukul dadaku, dan sudah pasti airmata telah mengalir di pipiku. Andre selalu mampu menyakiti aku dengan cara sesakitnya orang sakit.
Langkah yang tadi ku percepat kini membuat aku berlari menuju kamarku dan langsung membuka pintu kamar. Menutupnya lalu menjatuhkan diri di atas ranjang dan membenamkan wajahku di bantal. Membiarkan saja lubang pernapasan ku tersubat, rasanya tak akan ada yang mampu membuat rasa sesak ini menghilang.
***
Suara tangis membuat aku yang baru saja selesai mandi langsung mengerutkan kening bingung. Apa Mba Dea yang menangis? Aku cepat-cepat membuka pintu kamarku dan langsung menatap ke bawah. Menampakkan dua pasang tubuh yang tengah berpelukan. Yang satu menangis dan yang lain menenangkan.
Wanita itu.. Vio? Apa yang di lakukan Vio disini? Dan kenapa dia bisa memeluk Andre seperti itu? Aku rasanya tak habis pikir.
“Apa yang kamu lihat Luna?” Suara tanya di belakangku membuat aku langsung terperanjat. Antara kaget dan kikuk karena kepergok sedang memperhatikan dua orang yang terlihat intim. “Apa yang mereka lakukan di bawah sana?” Dea bertanya terdengar kesal, apalagi saat ku dapati wanita yang tengah hamil muda itu bersungut-sungut.
Dea ingin pergi ke bawah membuat aku memegang pergelangan tangannya. “Mau kemana Mba?” Aku bertanya penasaran tidak ingin dugaan ku benar.
“Tentu membuat Andre sadar kalau dia sudah menyakiti kamu seperti ini.” Dea menatap aku dengan tatapan marah, tapi marah itu tak tertuju kearahku.
Aku tersenyum cukup bahagia ada orang yang mau melakukan semua itu demi aku. “Mba tidak bisa tiba-tiba marah dan bilang Andre nyakitin aku. Kami bahkan tidak memiliki komitmen apapun untuk bisa merasa tersakiti oleh satu sama lain.” Aku menjelaskan logis, yang malah membuat Dea memutar bola mata dengan jengah.
“Omong kosong dengan tidak memiliki komitmen tersebut. Mami bahkan membiarkan saja mereka berpelukan seperti sepasang kekasih. Kenapa aku sakit hati sendiri melihat adegan drama tersebut.” Ya Tante Delila di sana, mungkin memang ada sesuatu sampai mereka berpelukan seromantis itu.
“Mungkin memang ada masalah besar.”
“Itu tidak membenarkan semuanya Luna, jangan munafik dengan terus bersembunyi di balik kata tidak apa-apa kamu.” Dea menembus segala sesuatu yang aku sembunyikan. Entah apa yang membuat Dea sangat yakin kalau Andre dan aku memiliki rasa yang sama, tapi terhalang ego masing-masing. Aku bahkan tidak akan pernah mampu mengharapkan hal itu. “Dengar Luna! kalau kamu tidak bertindak maka kamu kalah.”
“Apa yang harus aku lakukan Mba, Andre bahkan sudah bilang kalau aku hanya menunggu beberapa hari lagi untuk keluar dari rumah ini. Dia akan bicara sama Tante Delila.” Aku menjelaskan ingat dengan percakapan yang menyakitkan tadi malam.
Dea menatap tidaklah percaya, entah apa yang tengah di pikirannya Dea. “Kalau begitu kita buat Andre menghilangkan egonya.” Usulan Dea terdengar hebat tapi mustahil.
“Caranya?”
“Kamu tinggal ikut permainan aku dan ku jamin laki-laki tidak peka itu akan tahu sendiri akibatnya.” Dea tersenyum sumringah membuat aku hanya menatap tidak mengerti.
Aku bergerak gelisah masih ingat dengan percakapan tadi malam bersama Dea yang sampai sekarang membuat aku masih tercengang dan tak habis pikir.
“Apa? Mba meminta aku bertemu dengan teman Mba yang bahkan aku tidak tahu namanya itu? Aduh Mba, aku tidak bisa.” Aku memegang kedua lengan Dea meminta dia lewat tatapku untuk tidak bertindak sejauh ini. Apalagi sampai harus membuat Andre cemburu segala, apalagi saat sosok yang di cintai Andre telah ada di rumah ini.
Ya. Vio ada di rumah ini. Dia tinggal di sini, entah untuk berapa hari aku juga tidak tahu. Dan yang paling membuat aku sakit hati adalah alasan dia tinggal karena pembatalan pernikahan. Kenapa dia membatalkan pernikahan tanpa alasan yang jelas? Tak habis pikir aku di buat oleh wanita itu, apalagi Dea mulai menyuruh aku untuk hati-hati. Semakin membuat khawatir saja.
Tapi seberapapun aku membenci kehadiran Vio tak terlintas dalam otakku untuk menghadirkan lelaki lain sebagai balas dendam. Tidak, aku hanya ingin Andre bukan laki-laki lain.
“Dia hanya ingin membantu kamu untuk membuat Andre sadar, bahkan dia juga sudah memiliki kekasih Luna. Jangan terlalu berlebihan menanggapi semuanya. Kalau setelah kamu dekat dengan laki-laki lain dan Andre tetap dengan sikap dinginnya maka kamu berhak untuk meninggalkan dia.” Suara Dea mulai memaksa, apalagi rayuannya mulai membuat aku goyah. Wanita di depanku ini pandai membuat tertarik.
“Tapi mba..”
“Apa kamu juga tidak penasaran dengan perasaan Andre? Apa kamu tidak ingin tahu bagaimana respon laki-laki itu jika melihat kamu bersama laki-laki lain?” Aku hanya menatap Dea dengan gamang dan detik itu juga Dea langsung menepuk tangannya mengatakan kalau kediamanku adalah tanda setuju membuat aku hanya melongo.
Dan sekarang aku masih duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk, mengabaikan piring nasiku yang sama sekali tidak menarik minatku sedikitpun.
“Apa masakannya tidak enak Luna?” Suara tanya itu membuat aku langsung mendongak dan melihat Tante Delila menatap aku menunggu jawaban.
Aku mengerjap langsung menggeleng pelan. “Tidak Tante, makanannya enak. Saya hanya kurang berselera.” jawabku pelan mulai tidak suka dengan semua tatapan mata yang hanya tertuju kearahku.
“Kamu ingin makan yang lain?” Andre yang duduk depanku bertanya, seraut wajah khawatirnya membuat hatiku menghangat tapi saat tatapku bertabrakan dengan milik vio kehangatan itu langsung membakarku.
“Tidak terimakasih.” Aku kembali menyendok sarapanku dengan tampang merana.
Suara dentingan sendok kembali terdengar, dan semua orang kembali sibuk dengan makanannya masing-masing.
Bunyi bel depan hampir membuat aku tersedak tapi dengan cepat aku meminum air putih yang ada di depanku, mengabaikan tatap Andre yang melihat keanehanku.
“Aku yang akan membuka pintu.” Dea bangun dan langsung mengedipkan mata padaku. Saat itulah aku tahu kalau sebentar lagi aku akan jantungan. Ternyata Dea benar-benar memanggil sosok asing itu, bahkan aku mengira percakapan kami semalam hanya angin lalu saja.
“Siapa yang bertamu sepagi ini.” Suara Lucas terdengar, ku lirik lelaki itu yang telah menandaskan sarapannya dan mulai berdiri. Lucas adalah sosok tak tercela, aku mengagumi lelaki milik Dea ini bahkan sedikit iri akan kisah mereka. “Mami, Lucas berangkat dulu.” Lucas berjalan kearah Tante Delila, memberikan kecupan di pipi dan mulai berjalan menjauh dari meja dapur.
“Lucas hei!” Suara asing itu mau tak mau membuat aku langsung baerbalik melihat tubuh yang memeluk Lucas dengan tepukan pelan di punggung. “Lama tidak jumpa kawan.” Suara laki-laki itu dalam membuat aku penasaran dengan wajahnya.
“Apa yang membuat kamu kemari Julian? Pernikahan Andre belum di laksanakan kalau itu niat kedatangan kamu. Juga Dea belum melahirkan kalau itu alasan yang lain.” Jawab Lucas dengan nada datar tapi mengandung lelucon di dalamnya.
Sosok itu terkekeh, langsung menatap di balik bahu Lucas dan beradu tatap dengan mataku membuat aku bisa menemukan mata abu yang menghanyutkan aku dalam sejenak. Laki-laki itu terlihat sempurna, dengan rambut spike yang di potong pendek juga warna pirang di beberapa bagian rambutnya. Bahkan gaya pakaiannya juga memukau, dimana Dea menemukan mahluk seindah ini?
“Sayang sekali karena tidak dua-duanya. Aku kesini untuk bertemu teman lama.”
“Teman lama? Siapa?” Lucas bertanya penasaran.
“Luna kamu mau diam saja di sana, tidak ingin menyapa?” Suara itu membuat aku langsung melotot dan detik aku ingin memaki detik itu juga aku sadar kalau ini adalah sekenario.
Aku bangun dari dudukku langsung berjalan kearah sosok yang di panggil Lucas dengan nama Julian. Aku hendak berjabat tangan dengan Julian yang memang mengulurkan tangan tapi saat tangan kami bersentuhan Julian malah menarik tanganku dan langsung memelukku.
“Merindukan aku?” Bisik Julian yang hampir di dengar oleh semua pasang mata yang melihat dramanya. “Maaf karena memeluk kamu seperti ini, tapi merindukan kamu adalah hal paling menyakitkan buatku.” Dengan cepat aku melepas pelukan Julian memberikan dia tatapan memperingatkan yang malah di balasnya dengan alis terangkat. Dia mengejekku.
“Jadi kamu temannya Luna Julian, ternyata dunia ini kecil sekali.” Aku melihat nada antusias dalam suara Tante Delila terlihat sekali kalau Tante berlebihan dengan sambutannya. Apa tidak ada yang curiga kalau Julian akan berbuat yang aneh-aneh, apalagi saat tadi dia memelukku.
Julian memeluk Tante Delila dengan sayang. “Dunia memang kecil Tante.” Kedipan mata Julian membuat aku memutar bola mata bosan.
Suara sendok yang diletakkan dengan sembarangan membuat aku langsung menatap kearah meja makan, apalagi saat sendok itu di letakkan dengan kasar hingga membuat bunyinya menandakan pemiliknya tidak menaruh dengan tenang tapi marah. Aku memperhatikan Andre dengan seksama, melihat raut tenang yang bagai sebuah topeng. Tapi aku tidak mau berharap, berharap itu menyakitkan.
“Mami aku berangkat.” Suara Andre bergaung di dekat telingaku, membuat aku sedikit tersentak saat kurasakan sebuah kecupan di pipiku hingga membuat suara terkesiap entah dari siapa. “Aku pergi.” Andre tak menatap mataku tapi aku yakin kalau ucapan itu tertuju kearahku.
Aku yang masih linglung hanya bisa mengangguk saja dengan ucapnya, bahkan saat tubuhnya telah menghilang di balik pintu yang telah tertutup rapat. Semua orang masih membeku.
***
Suara tawa Julian membuat aku memijit kepalaku dengan pening, rasanya aku ingin minum aspirin sekarang agar sakit di kepalaku mereda. Tapi kurasa ini bukan sakit yang biasa, penyebab sakitnya adalah sosok yang ada di sampingku. Sosok yang tengah tertawa puas dengan permainan yang baru saja di lakoninya.
Aku tidak tahu kalau perubahan Andre akan sedemikian mendadak, apalagi saat rasa bibirnya yang mengecup pipiku masih terasa di pipiku. Rasanya panas, hingga membuat aku ingin meraba lagi dan lagi pipiku.
Aku menatap Julian dengan tajam, masih tak habis pikir dimana letak kelucuan dari semua dramanya. “Apa kamu akan terus tertawa sampai kamu mati?” Tanyaku sadis lebih kepada kesal dan bukannya marah. Kesal karena dia berhasil membuat aku olahraga jantung tapi dia hanya menganggap semuanya lucu.
Julian menatapku, membiarkan mata abunya menelusuri aku dengan jenaka. “Kamu terlihat sangat bahagia, kurasa itu berhasil.” Meredam suara tawanya, Julian malah sibuk berucap sesuatu yang semakin membuat aku memerah.
Aku mencibir kearahnya. “Terimakasih. Kalau itu yang kamu inginkan.” Aku menatap ke arah samping, tidak ingin Julian melihat wajahku yang sudah semerah tomat.
“Tidak tidak. Bukan terimakasih tapi timbal balik.” Aku kali ini menatap kembali kearah Julian dan menemukan lelaki bermata abu itu sibuk menatap lurus ke depan. Jejak-jejak tawanya telah hilang.
Dea tidak pernah cerita kalau Julian meminta timbal balik, apa yang dia inginkan. “Apa yang kamu inginkan?” Tanyaku padanya dengan sikap antisipasi.
“Jadi kamu akan mengabulkan?”
“Jika aku bisa.”
Mata abu itu menatapku dengan sorot lembut. “Kamu akan tahu nanti.” Ucapnya dengan misterius yang membuat aku menatap dia heran.
“Bukan yang aneh-aneh kan?”
“Kupikir tidak ada yang aneh.” Jawabnya setelah lebih dulu menerawang, membuat dia terlihat semakin menyebalkan.
Berbekal rasa percaya yang ku miliki untuk Dea aku mematuhi saja keinginan laki-laki ini untuk membawa aku keluar, apalagi tidak ada larangan dari Tante Delila. Dan sekarang masih dengan rasa percaya aku ke Dea, aku diam saja entah akan di bawa kemana.
***
Restoran? Itu kata pertama yang ada di kepalaku saat Julian memasuki restoran yang bisa di bilang tidak terlalu mewah tapi terlihat elegan. Apalagi Julian memberhentikan mobilnya di depan restoran dan itu tandanya kami memang akan kesini.
Aku mengikuti Julian membuka sabuk pengaman, masih dengan keheranan yang sama. Saat aku hendak keluar untuk membuka pintu Julian dengan cepat memegang sikuku membuat aku menatap dia bertanya.
“Diam dulu.” Perintahnya datar membuat aku semakin tidak mengerti dengan laki-laki ini. Apalagi saat dengan cepat Julian sudah turun dari mobilnya dan memutar, sedikit berlari menghampiri pintu yang ada di sampingku. Membukakan aku pintu mobil dan memberikan aku senyum jahilnya.
Aku hanya memutar bola mata sebal, aku kira dia hendak kemana ternyata hanya mau menjadi pria sejati.
Aku keluar dari mobil, merapikan gaun selututku yang berantakan. “Bukankah kita sudah makan? Kenapa harus ke restoran lagi?” Tak dapat diam saja membuat aku bertanya, sedang Julian dengan entengnya hanya tersenyum dan melangkah meninggalkan aku yang menatap punggungnya tidak percaya. Sebenarnya laki-laki seperti apa yang di hadirkan Dea dalam hidup aku? Tak habis pikir aku dengan tingkah lelaki yang satu ini.
“Ayo Luna! Aku tidak ingin membuat diriku berkeringat dengan berlama-lama di tempat sepanas ini.” Suara Julian membuat aku langsung berjalan dengan cepat, menyadari kalau terik matahari yang memang sudah siap memanggang tubuh siapapun yang ada di bawahnya.
Julian celingukan tidak jelas, langsung melebarkan senyuman saat objek yang di carinya telah dia temukan. Dan tahulah aku alasan dia datang kemari, beberapa orang tengah berkumpul di meja yang ada di dekat jendela. Apa itu teman-teman Julian?
“Kemana aja kamu? Hilang terus mentang-mentang sudah punya yang baru.” Suara salah satu dari ketiga orang itu membuat aku langsung menatap Julian tidak mengerti. Apa ini?
“Aku juga mikirnya gitu, sahabat kita yang satu ini kan memang jarang kumpul kalau sudah punya pacar.” Yang satu menimpali seolah sosok yang mereka bicarakan tidak ada di dekat mereka.
“Sudah kalian, kasihan itu wanitanya.” Yang satu lagi bersuara tapi aku bisa melihat kalau sosok yang bicara terakhir adalah wanita. Walau penampilannya benar-benar menipu mata.
Julian tertawa, tertawa dengan keras bahkan dia terpingkal-pingkal. “Kalian selalu tahu.” Julian memegang lenganku, menarikku agar ikut duduk bersama mereka. Aku nurut saja.
“Siapa namamu Nona?” Wanita versi pria itu bertanya padaku mengulurkan tangan yang langsung kujabat di sertai ulasan senyum ramah.
“Luna.”
“Oh Luna, senang mengenal kamu Luna. Aku Rizky dan ini Reza dan Haikal.” Aku mengangguk saja saat tahu kalau nama dari wanita versi pria itu Rizky dan yang ada di depanku adalah Haikal dengan kacamata yang bertengger di matanya. Yang satu lagi adalah Reza yang kulihat hanya memberikan senyum seadanya.
“Aku Juga senang mengenal temannya Julian.” Jawabku seadanya yang malah membuat Julian mengacak rambutku dengan gemas. Aku menatap pria itu aneh.
“Dia adiknya Dea, kalian masih ingat dengan pengantin yang kita buatkan rancangan pernikahan terburu-buru itu?” Julian menjelaskan dan aku baru tahu kalau mereka yang merancang pernikahan Dea dengan Lucas.
“Aku rasa pernah bertemu dengan dia?” Reza memegang dagunya sembari menatapku dengan pandangan menerawang.
“Aku hadir di acara pernikahan, mungkin saat itu kita bertemu tanpa sengaja.”
“Mungkin saja.” Reza menyetujui.
“Kenapa kamu membawa dia ke acara pertemuan ini, kurasa ada yang penting di sini.” Haikal yang kali ini bicara.
“Dia bisa membantu kita dengan gaunnya, bukannya kita belum memiliki modelnya.” Suara Julian kembali membuat ku menatapnya tak mengerti.
“Maksud kamu dia akan menggantikan model sebelumnya? Mungkin bisa, dia terlihat sangat cocok.” Rizky yang kali ini bersuara.
Sebelum aku bisa membantah semua yang ada di meja itu langsung saja menyetujui tanpa mau repot-repot bertanya bagaimana menurutku.
Cieee ada yg cemburu nih eaaaa
Andre klo cemburu bilang aja deh hihi
Lahhh ngapa vio jdi tinggal disitu jg, ihhhh ga sukaaaa deh ehh haha
Wahhh Julian, jngn2 nnt dia yg bakal sll ada buat Luna lgi hihi
Ditunggu kelanjutanny
Semangat trs ya
Eaaaa yang cemburuan, wkwkw
Lucu cemburu nya Andre
responnya Andre keren ya hahaha
Aaaaaa sukakkkk trsssss dr part awallll smp part iniii!!!!!! love u thor aku suka bgttttf. U made my dayy
Hahahahahaha aku ngakak kak aihhh bisaan aja Julian ini XD
Caranya Dea boleh jugaaaa hihihi~
Kita lihat seberapa lama Andre nahan cemburunya~
*berusahamengabaikanVio* ^-^v