Vitamins Blog

One Night – Ch. 4

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

28 votes, average: 1.00 out of 1 (28 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Kamu membatalkan pernikahan dan malah sekacau ini, apa yang sebenarnya ada di kepala kamu Luna?” Aku menatap Lara meletakkan kopi di dekatku membuat aku langsung mengambilnya dan mencium aroma kopi yang menyenangkan.

“Aku hanya ingin dia bahagia. Apa yang salah?” Jawab sekaligus tanyaku pada sepupuku yang menatapku tak habis pikir.

“Atas dasar apa kamu yakin kalau dia tidak akan bahagia sama kamu?”

“Atas dasar karena dia tidak mencintai aku.” Ku minum kopi itu perlahan. Mengabaikan Lara yang sudah duduk di depan ku dan siap beradu argumen.

“Cinta bisa datang di dalam pernikahan.”

“Aku hanya ingin dia bersama wanita yang di cintainya, bukan bersamaku yang hanya dia anggap tanggung jawab saja.”

“Tapi wanita itu tidak menginginkan dia.” Lara menatap aku seperti aku tidak tahu saja.

“Maka dia harus menunggu orang yang bisa membuat dia bahagia.” Putus ku final.

“Bagaimana kalau orang itu kamu?” Lara memancingku.

“Tidak. Tentu bukan aku.” Jawabku ironis.

“Tidak akan pernah ada yang tahu akhir cerita hidupnya Luna, kamu sendiri selalu meyakinkan kata itu.”

“Karena aku tidak pernah tahu bagaimana akhir kisahku, maka aku tidak akan pernah mencari tahu lewat lukaku sendiri.” Kali ini mataku menajam menatap Lara yang juga menatap aku marah.

“Kamu hanya tidak mau keluar dari posisi nyaman kamu. Apa aku salah?”

“Kamu pikir menjauhkan dia adalah posisi nyaman buatku? Tidak Lara, sama sekali tidak. Menjauhinya adalah beban terberat yang aku jalani.” Aku bangun langsung berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan hati teriris pedih.

“Lantas apa bedanya dengan bersama dia? Kamu merasa kalau bersama dia akan membuat kamu terluka, tapi meninggalkan dia juga membuat luka itu ada Luna.” Lara masih tak mau menyerah dengan argumennya membuat aku mendesah lelah.

Aku berbalik, menatap Lara dengan keteguhan mantap. “Bedanya, kalau aku bersama dia maka kami berdua yang akan terluka. Tapi kalau aku menjauhi dia hanya aku yang akan terluka.” Satu tetes airmata lolos di mataku, memberikan pandangan terluka pada Lara.

Lara melihatnya, melihat kehancuran yang ada di mataku. Aku tidak pernah menyalahkan takdir, tapi aku lebih menyalahkan keadaanku. Keadaan yang tak mampu membuat aku mengambil sedikit keegoisan untuk memiliki laki-laki yang teramat aku cintai.

Lara mendekat, memelukku dengan segala hal yang dia miliki. Di elusnya punggungku dengan sayang. Membiarkan airmataku jatuh tepat di pundaknya.

Aku mengiba pada sang takdir, jika aku tak bisa memiliki pria itu maka biarkan dia mendapatkan kebahagiaan yang sepantasnya dia dapatkan.

Suara bel rumah membuat Lara melepas pelukannya dan menghapus air matanya. “Aku akan membuka pintu dulu.” Ucap Lara langsung berlalu dari hadapanku.

Aku kembali berbalik, menatap jendela. Merasakan kedinginan yang memelukku dengan seerat mungkin.

Suara langkah kaki Lara tidak membuatku menatap kearahnya. “Luna!” Lara memanggil membuat aku langsung berbalik, dan melongo menatap siapa yang datang bersamanya.

“Tante Delila.” Ucapku parau.

***

“Tante!” Aku berucap setelah menyeduhkan kopi untuknya. Lara diam di kamarnya, membuat jantungku makin bertalu saja.

Tante Delila meminum kopinya dengan senyuman yang tidak pernah hilang di bibirnya. Entah bibirnya itu tersenyum tapi aku tahu ada kemarahan di dalamnya, aku tidak tahu pada siapa dia marah dan tentunya tidak ingin tahu.

“Aku dengar kamu memutuskan pernikahan dengan Andre?” Apa orang-orang ini tak bisa berbasa-basi terlebih dahulu? Kenapa selalu ke inti masalah, aku sendiri malah repot buat mencari alasan yang tepat.

“Tante aku..” aku tertunduk dalam, kehilangan kata yang memang tak ada kata yang mampu aku rangkai.

“Dalam keluarga kami, sekali seseorang menyentuh wanita yang bukan miliknya maka sampai akhir dia harus bertanggung jawab.” Mami Delila berucap tajam, setajam silet yang baru di asah. Hatiku ketar-ketir. “Seperti anak saya yang menyentuh kamu, dia juga harus bertanggung jawab bahkan walau kamu menolaknya. Saya tidak tahu apa masalah kalian, tapi yang saya tidak mau adalah tanggung jawab yang harus anak saya tanggung dia abaikan begitu saja.” Wanita di depanku ini terdengar tegas tak terbantah.

Aku masih dengan posisi tertunduk yang semakin dalam. Mencermati setiap katanya, yang masih membuat hatiku semakin terasa di remas oleh tangan tak kasat mata.

“Saya minta maaf Tante.”

“Bukan minta maaf Luna, bukan. Yang saya mau adalah kata Ya. Bantu keluarga saya untuk tidak kehilangan wajah di depan orang lain. Hanya itu Luna, dan saya janjikan pada kamu kalau kamu akan mendapat perlindungan dari saya.” Nada muktamat dari wanita di depanku membuat aku langsung menatapnya nyalang. Bukan seperti ini yang saya mau bukan begini.

“Tante..”

“Jangan membantah saya lagi Luna, besok siang Aryo akan menjemput kamu dan kamu bawa koper kamu.” Tante Delila berucap tajam. “Kamu tinggal bersama saya, biar pikiran kamu tidak berubah-ubah seperti ini.” Wanita ini tahu cara memerintahkan kepada orang lain. Aku hanya bisa bungkam.

Dengan cepat dia berdiri, masih menatapku dengan wajah kerasnya yang kentara.

“Besok Luna. Saya tidak ingin kamu lari.” Tante Delila berlalu pergi dengan ucapan terakhir yang membuat aku tertunduk. Apa yang harus aku lakukan?

***

Aku ingin berlari. Tapi Lara berkata aku gila kalau aku lari, dia tak ingin aku malah di buru seperti binatang. Memangnya siapa yang akan memburuku?

Akhirnya di sinilah aku, membawa tas kecil untuk baju ganti. Setidaknya aku tidak tahu harus beberapa hari tinggal di sini, sampai Andre bisa meyakinkan maminya kalau kami memang lebih baik berpisah.

Aku mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, tapi tanganku terhenti di udara. Pintu itu terbuka dengan cepat, menampakkan mata hitam yang tengah menatap bingung kearahku.

“Luna?” Suaranya penuh dengan tanya. Sungguh dia tidak tahu kalau Maminya datang menemuinku dengan suara tajamnya? Tapi melihat dia seterkejut ini aku yakin kalau dia memang tidak tahu. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Tanyanya melihat tas yang lumayan besar yang ku bawa.

Dapat kulihat kalau Andre memejamkan mata frustasi. Jelas dia tidak suka aku ada di sini. “Apa yang sudah dia lakukan padamu?” Andre mengangkat tangan untuk menyentuhku tapi tangannya terhenti seolah dia baru sadar kalau dia tak memiliki hak menyentuhku. Yang bisa aku lakukan hanya merasa terluka. Andre berdehem, “Apa yang Mami lakukan padamu, hingga kamu mau-mau saja datang kemari?” Apa sebegitu tidak inginnya dia bersamaku?

Aku menggeleng. “Hanya sedikit perintah.” Ku berikan seulas senyum menyedihkan.

“Mami!” Belum sempat aku berkedip, suara teriakan Andre sudah lebih dulu terdengar membuat aku menatap ke balik punggungnya.

“kenapa Mami memaksa dia datang? Kenapa Mami?” Pertanyaan Andre nyalang, melihat aku yang masih diam mematung di tengah mereka.

Tante Delila memutar bola mata bosan. “Jika bukan Mami lalu siapa lagi? Kamu? Kamu tidak bisa diharapkan sama sekali.” Jawab Tante Delila acuh saja walau Andre terdengar ingin marah, tapi dia masih sadar kalau yang tengah bicara dengannya adalah sang Mama.

“Mami juga tidak perlu bertindak sejauh ini!” Andre terdengar frustasi.

“Ini tidak terlalu jauh, rumah Luna dekat kalau pakai mobil.” Entah kenapa aura Tante Delila yang kemarin sama yang sekarang sangat berbeda.

“Mami tahu bukan itu maksudku?” Andre kembali menatap kearahku, lalu kearah Maminya.

“Bibi! Bawa Luna kekamarnya.” Perintah Tante Delila membuat seorang wanita seumuran Tante Delila datang dengan tergesa.

“Mami!” Andre hilang kesabaran. “Aku akan mengantarnya pulang!” Putusnya acuh.

Dengan cepat Andre menggenggam pergelangan tanganku, mengabaikan rasa tak nyaman yang mungkin dia rasakan.

“Andre jangan membantah mami sekarang.” Suara Tante Delila menajam.

Andre tetap berlalu membuat aku terseret-seret mengikutinya.

“Lucas!” Mami berteriak membuat Andre langsung menghentikan langkah saat kami sudah sampai di ambng pintu. Aku tidak tahu bagaimana raut wajah Andre, karena dia membelakangi aku.

“Kenapa Mi? Aku terburu-buru sekarang.” Suara Lucas menjawab, tak melihat aku dan Andre yang masih terdiam.

“Andre menentang perintah mami.” Lapornya yang malah membuat aku menahan senyum.

Aku beradu tatap dengan mata Lucas yang menatap aku sejenak. “Andre?” Lucas menyebut nama Andre dengan pelan, mengirim aura intimidasi yang kental disana.

“Mami.” Andre berucap dengan nada memelas tapi Tante Delila bersedekap, bersikap tidak peduli.

“Luna!” Suara ceria itu membuat aku menengadah dan melihat Mba Dea sudah ada di belakang Lucas. Senyumnya terkembang ceria, membuat aku ikut tersenyum kearahnya.

“Mba.” Dengan cepat aku melepas pegangan Andre dan berjalan kearah Mba Dea yang langsung menyambut aku dengan pelukan hangat. “Aku merindukan Mba Dea.” Ucapku membalas pelukannya.

“Sebaiknya kita bicara di kamar aku saja. Yuk!” Mba Dea meraih pergelangan tanganku dan membawa aku pergi. Aku sempat melihat tatapan terpana Andre tapi ku abaikan saja.

“Bawa dia kekamarnya saja Dea, mami sudah persiapkan kamar untuknya.” Mami berucap dengan tenang.

“Baik mami.” Mba Dea terdengar bersemangat. “Pasti akan menyenangkan, kamu bisa main ke kamar aku dan begitu juga sebaliknya. Akan menyenangkan di sini.” Mba Dea terus berucap membuat aku ikut senang juga dengannya.

“Memangnya suami Mba..” aku tak melanjutkan karena Dea langsung menimpali.

“Dia ada tugas di luar kota. Makanya awalnya aku kira akan membosankan, tapi mami ternyata membawa kamu.” Dea terkekeh senang membuat aku hanya mengangguk saja.

***

“Jadi kamu akan menikah dengan Andre? Mami bilang pembatalan pernikahan tidak jadi.” Mba Dea mulai bicara lagi saat mangga yang tengah di mulutnya sudah habis tertelan.

Aku menatap mba Dea dengan seksama, melihat perutnya yang sudah membesar saja. “Aku tidak tahu.” Jawabku jujur, tidak mungkin bilang iya atau tidak karena kebimbangan tengah melandaku.

Mba Dea menatap aku jengah, matanya seolah mempelajariku membuat aku tak nyaman di tempat aku duduk. Ku alihkan pandangan kearah danau di depan kami, di belakang rumah Andre ada Danau kecil yang terlihat indah.

“Apa kamu tidak mencintai Andre?” Pertanyaan itu hampir saja membuat aku tersedak andai saja aku sedang minum atau memakan sesuatu. Aku bersyukur karena tidak ada apapun di dalam mulutku.

Ku berikan Mba Dea senyum datar. “Aku mencintai dia.” Jawabku akhirnya membuat Mba Dea kembali menatap aku dengan teliti.

Tanganku di genggam Mba Dea dengan erat, ada tatap meyakinkan di sana. “Apa yang membuat kamu ragu memberikan jawaban, kalau memang kamu mencintai dia Luna?”

“Semuanya tidak semudah kelihatannya.” Ku remas jemariku mencoba tak tersulut sedih karena percakapan ini.

“Kamu yang memperumit semuanya Luna.” Aku benar-benar merasa ingin menangis sekarang, tapi entah kenapa aku tidak ingin perempuan yang tengah hamil ini melihat airmataku. Kehancuran ku biar aku sendiri yang tahu, tidak perlu membiarkan orang lain merasa kasihan padaku.

“Mungkin Mba benar. Aku membuat semuanya rumit.” Balasku dengan nada biasa, tapi aku tidak biasa.

Mba Dea meraihku dan memelukku membuat hatiku semakin terenyuh saja di buatnya. “Kamu yang sabar Luna, orang sabar selalu bahagia di akhir kisahnya.” Suara Mba Dea di ikuti dengan husapan lembut di punggungku.

Tapi aku selalu berharap akhir kisah yang bahagia itu adalah bersama laki-laki yang sekarang mencintai wanita lain.

***

Sesuatu yang membungkam mulutku membuat aku langsung melotot dan ingin melawan sebelum suara yang sangat aku kenali itu membuat aku langsung menelan ludah dengan gelagapan.

“Ini aku Luna, bisa kita bicara?” Andre melepaskan tangannya di bibirku, langsung membuat aku mengangguk dan melihat keadaan remang di kamarku. Jam berapa laki-laki ini membangunkan aku? “Aku menunggu kamu di belakang rumah.” Lagi Andre melanjutkan ucapannya, membuat aku menatap dia yang sudah berlalu dari hadapanku.

Andre memasukkan tangannya kedalam saku celana jeans pendek yang tengah dia kenakan, dengan T-shirt putih itu membuat aku semakin menyukai laki-laki yang kini telah menghilang di balik pintu kamar.

Aku menyibak selimut dan mulai turun dari ranjang. Langsung menatap tubuhku yang hanya memaki dress transparan dan sukses membuat aku melongo saat ternyata selimut yang tadi aku sibak, kusadarkan hanya menyelimutiku sampai pinggang. Jangan bilang Andre melihat tubuhku? Kurasa tidak. Laki-laki itu bersikap normal.

Jadi dengan cepat aku memakai sweater yang bisa menutupi tubuhku dan berjalan menuju tempat yang di maksud Andre.

6 Komentar

  1. Eaaaa ehem eheemmm. Andre mau ngomong apa tuh malem-malem lagiii :KETAWAJAHADD

  2. farahzamani5 menulis:

    Sukaaaa deh, keluarga Andre semua ada di pihak Luna ehh hihi
    Mama ny lucu yak, galak2 emesh haha
    Nahh nahh ada apa ni Andre mlm2 ngajak Luna ke belakang rmh
    Cuzz ke part berikutnya
    Semangat trs yak ka

  3. Andre mau ngomong apaan tuh?

  4. fitriartemisia menulis:

    Mamanya Andre :KISSYOU

  5. angelisagita menulis:

    Sukkaaaaaaaa bgtttt cerita iniii akhh kzl

  6. Ahahahahahaha Andre takut sama Lucas, aihhh jadi pengen tau kisah Lucas jugaa hihihi~
    Andre dikau duh-duh-duh >_<