Vitamins Blog

Tir Na Nog ~Act 4

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

23 votes, average: 1.00 out of 1 (23 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Terbaring di atas tanah, Lou membiarkan malam melimpahkan pekamnya. Tonggerek berdengung nyaring hingga terasa bising di telinga. Bahkan jajaran bintang tak mampu menghibur kegundahan Lou. Ia terlalu hijau untuk memahami petuah kaum bertanduk atas segala dosa yang bahkan tak mampu diingat Lou. Suhu udara semakin turun, perlahan benak Lou berputar pada bayangan sosok purba; sayap yang membentang indah, sisik-sisik hitam seumpama batu alam, taring dan cakar pembuas, hingga bara api. Apakah mahluk itu yang menjadi dosa pertama Lou? Sedikit banyak Lou pun mulai menarik kesimpulan: ia merupakan bagian dari monster.

Monster….

Sejauh yang Lou pahami perihal kejahatan, segala tindak buruk mirisnya bersumber dari nafsu. Keinginan untuk bertahan hidup. Rasa tak puas akan sesuatu. Hasrat yang tak terpenuhi. Rasa iri pada apa yang tak dimiliki. Semua hal tersebut—baik yang terucap maupun yang tak terbilang—adalah sifat alami mahluk yang disebut sebagai manusia.

Kadang Lou bertanya pada Luma, sang dewa kebijaksanaan, “Mengapa harus ada derita?” Lingkaran neraka yang tak berkesudahan akibat derita; kemiskinan, moralitas, kesetaraan, dan segala yang dikoarkan manusia—Lou tak mengerti arti penting dari hal tersebut. Sedari kecil ia telah diajari untuk menutup mulut pada apa pun. Bila ada yang mengungkit kemalangan Lou, maka ia akan berpura-pura tak mendengar perguncingan tersebut. Tak peduli pada puluhan mata yang merendahkan kehadiran Lou, ia tak akan tunduk pada kemalangan.

Namun untuk saat ini, ketika angin mulai menggoyang ranting dan burung hantu memekik nyaring, Lou merasa tak memiliki arah tujuan. Setelah sekian lama, akhirnya ia mulai mengerti sakitnya kesendirian. Namun sesungguhnya, hal yang membuat Lou nelangsa ialah ingatan akan wajah-wajah bocah yang menjerit kala serdadu merah datang menyerang. Dalam hati Lou mulai bertanya, benarkah hal yang ia perbuat? Mengabaikan jerit anak-anak dan tangis anak gadis, abai pada ratapan orang tua yang memohon belas kasih, dan mengutamakan keselamatan pribadi di atas segalanya.

Memang begitulah sikap manusia.

Tidak ada yang salah.

Mereka pun tak peduli.

Lalu, mengapa Lou merasa bersalah?

Memejamkan mata, Lou memaksakan diri untuk mengingat perlakuan kasar yang selama ini diterimanya; malam-malam di mana perutnya melilit pedih karena tak ada satu roti pun yang bisa dimakan; tatapan merendahkan yang dilontarkan tetangga Lou, dan luka yang Lou terima saat ia kedapatan mencuri roti. Di manakah letak kesalahan Lou hingga ia layak mendapatkan hukuman semacam ini? Bila memang Isyura sumber segala derita Lou selama ini, maka biarlah ia lebur bersama kehidupan sang naga api.

Malam kembali menyapukan selimut dingin ke tubuh Lou. Rasa sakit yang menusuk kulit mulai mengaburkan pikiran Lou. Ia bahkan mulai meragukan keberadaannya sebagai manusia layak untuk dipertahankan. Haruskah ia menanggung dosa yang diperbuat mahluk purba agung tersebut?

Sendiri tidaklah menyedihkan.

Lou mengulang kalimat tersebut. Berkali-kali hingga terasa bagai mantra penebus dosa.

Sendirian tidaklah menyedihkan.

 

***

 

Pagi menjelang, suasana muram telah terganti dengan kicauan burung hutan. Lou memetik buah liar untuk mengganjal perut. Setelah kejatuhan Desa Pirazhgm beserta desa-desa sekitar kerajaan Vayr, kemungkinan besar hari ini serdadu merah telah menguasai pusat kota. Satu lagi kerajaan, pikir Lou, kini Ratu Amber tinggal menjatuhkan rezim Raja Utara beserta pengikutnya.

“Utara,” ulang Lou.

Setahu Lou, Raja Utara memiliki pengikut yang bisa dibilang mengagumkan. Sudah bukan rahasia lagi bila Raja Utara memiliki hubungan erat dengan penyihir tua sekelas Ramunah, penyihir dari Lembah Hijau. Raja Utara yang berpegang teguh pada kepercayaan lama, mengira bahwa negeri ini bisa ditinggali oleh bermacam manusia tanpa mengabaikan kesetaraan harkat dan martabat, sementara di depan mata sang penyihir merah mulai merajai kerajaan-kerajaan lemah; membentangkan sayap, mencengkeram kerah rakyat yang sekarat, dan menegaskan dominasi kekuasaan. Ratu Amber ialah segala kemungkinan buruk. Wanita dengan pemikiran yang tak terbatas. Lou sangsi ada pria yang bisa menandingi kehebatan Ratu Amber.

Lou menghela napas. Sekarang, tak ada yang perlu ia risaukan. Jikalau ada cobaan yang menghadang langkah Lou, itu tak lagi menjadi perkara besar.

Luma terlalu mahir menguji seseorang.

Bukankah sebagian dari kita memang tengah diuji untuk dikuatkan menghadapi perkara besar?

Namun, untuk saat ini Lou belum menyadarinya.

 

***

 

Lou meninggalkan hutan tepat ketika matahari berada di atas kepala. Perubahan suasana, pikir Lou. Kemarin ia mempersiapkan anak panah untuk berburu kijang, dan kini ia berjalan seorang diri. Lou memilih jalur yang tak dilewati serdadu merah. Setahu Lou, tak banyak jalan yang bisa dilalui kereta kuda. Serdadu merah pastinya membawa jarahan untuk diserahkan pada sang ratu. Bisa dipastikan kecil kemungkinan Lou akan berjumpa dengan rombongan pasukan milik Ratu Amber.

Pohon-pohon cemara mulai berganti jejeran pohon pinus. Tak jauh dari pepohonan tersebut, sage dan semak-semak beri hitam tumbuh subur di sepanjang jalan. Lou hanya berhenti untuk makan dan melemaskan pergelangan kaki. Lalu, ketika malam tiba, Lou akan kembali bersembunyi di dalam hutan. Hal tersebut ia lakukan selama kurang lebih dua minggu hingga ia berhasil tiba di sebuah desa.

Tak banyak yang Lou harapkan di tempat tersebut. Ia bisa menebak bahwa desa ini pun berada di bawah kendali Ratu Amber. Rumah kumuh dengan penghuninya yang terlihat tak memiliki pengharapan dalam menjalani hidup; wajah cekung dan tatapan kosong. Tak ada anak-anak, pikir Lou, mungkin mereka mengirimkan anak-anak mereka untuk upeti.

Lou meminta izin membersihkan diri pada salah seorang wanita tua. Alih-alih mempertanyakan identitas Lou, wanita itu mempersilakan Lou untuk masuk.

“Tidak ada anak-anak,” tanya Lou. Kedua matanya menatap ke tumpukan mainan kayu yang teronggok di pojok ruangan.

“Apa yang bisa kami harapkan,” jawab si wanita, “anak-anak kami hanyalah komoditas. Mereka tak memiliki pilihan. Sang ratu menginginkan budak dan kami harus mematuhi perintahnya.”

“Bukankah Raja Vayr melarang pengiriman budak?”

“Ya,” jawabnya, mengakui. “Namun bagi desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan yang dikuasai Ratu Amber, kami tak memiliki banyak pilihan. Raja pun tak mampu memberikan bantuan. Maka kami secara sukarela menyerahkan anak-anak kami.”

“Sukarela?” Lou merasakan cairan pahit di ujung lidahnya. “Tapi, bukankah hal itu….”

“Kami mengerti,” potong si wanita. “Namun, bila kami tak mengiakan tawaran Ratu Amber, maka saat penyerangan, desa kami akan langsung dihancurkan.”

Tertegun, Lou tak tahu jika ada sebagian desa di perbatasan yang memilih tunduk pada rezim Ratu Amber.

“Nah,” kata si wanita. “Kau jauh-jauh kemari pasti bukan untuk menanyakan kemalangan kami. Sebaiknya kau segera membersihkan diri dan melanjutkan perjalananmu.”

Diam. Lou pun menyadari bahwa bukan dia seorang yang harus mengalah pada dunia.

 

***

 

Isodore Quentin, bangsawan dengan seribu akal, atau begitulah julukan yang diberikan Ratu Amber pada pria berusia tiga puluhan tersebut. Setiap sebulan sekali Quentin mendatangi sayap ratu sembari menawarkan anggur terbaik. “Ratuku,” katanya membujuk. Duduk berhadapan dan hanya terpisahkan oleh meja di antara mereka, keduanya tampak menimbang pemikiran liar yang terselip di antara kalimat manis. “Kudengar kau berhasil menumbangkan pemerintahan Raja Vayr.”

Ratu Amber menatap cairan merah yang ada dalam gelas. Sesekali ia melempar pandang pada bunga-bunga yang tumbuh subur di seberang taman. Wangi lilac mengingatkan sang ratu pada kawan lamanya. Seorang alkemis muda yang ditemuinya beberapa tahun silam. “Banyak hal yang berubah. Quentin, apakah kau menunggu kesempatan bagus?”

“Kesempatan?’ ulang sang bangsawan. Seulas senyum terpeta di bibir tipisnya, Quentin menjilat bibir atasnya sebelum berujar, “Kau memiliki segala yang didambakan oleh seorang wanita, Ratuku. Kecantikan, kekayaan, kejayaan, dan ilmu; kau memiliki segala kebutuhan utama yang diidamkan manusia. Atau kau berharap aku bisa menawarimu sesuatu yang lain?”

Tak bisa dipungkiri, Quentin bukan rekan yang bisa dipercaya. Ratu Amber tahu hubungan Quentin dengan sejumlah pihak yang menentang kedaulatan kepemimpinannya. Namun itu bukan masalah. Ratu Amber tak akan gentar pada deretan pedang yang diarahkan tepat di atas lehernya. Ia kuat—seorang wanita perkasa yang memutuskan takdir hidupnya; tak ada jalan yang tak bisa ditempuh, tiada pula samudra yang tak mampu diselami. Hidup mengajarkan Ratu Amber untuk merangkul dan meniadakan musuh di waktu bersamaan. Jahat atau tidaknya tindakan yang dilakukan sang ratu tidaklah diukur atas norma yang dibuat sekitar untuknya. Jalan hidup milik Ratu Amber merupakan….

Jalan kematian.

“Bukan,” tebak Quentin tanpa menunggu balasan sang ratu. Kedua manik birunya mulai menelisik gaun hitam yang dikenakan Ratu Amber—warna yang kontras untuk suasana tenteram di pagi ini. “Raja Utara tak akan senang dengan keputusan Anda.”

“Raja muda yang tak berpengharapan,” ungkap Ratu Amber. “Raja Utara, pria muda dengan ideologi lama. Ayahnya mangkat lalu gelar Raja Utara diturunkan pada pemuda itu. Kau kira aku gentar dengan gertakan seorang bocah yang bahkan tak tahu makna dari kekuasaan?” Ratu Amber tersenyum, namun senyum tersebut tidak ditujukan untuk memikat. “Aku telah membangun dinastiku. Tiada falsafah yang mampu mengurung pemikiranku. Quentin, hanya karena aku membiarkanmu bermain dengan lawanku, kau tahu siapa saja oknum yang aku maksud di sini, membuatku percaya padamu. Ada pelbagai hal yang mengharuskan seseorang untuk berdamai dengan situasi.”

“Dan Anda pengecualian di antara anomali yang ada,” terka Quentin.

“Selama kau menguntungkanku,” kata Ratu Amber, “aku tidak keberatan kau bermain api di sekitarku.”

9 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Wow wow wow
    Ada Lou
    Aq vote dlu ya ka hihi
    Nnt bca dan komen nya
    Mksh dah update :MAWARR

  2. Scaroline07_ menulis:

    Ayooo kak Update lagi :KISSYOU :KISSYOU

  3. Yeaaayyyy. Baca dulu yaakkkk :LARIDEMIHIDUP

  4. Ini masih ada lanjutannya kn?

  5. fitriartemisia menulis:

    vote dulu yaww

  6. farahzamani5 menulis:

    Kk cayangggg, aq kembali dan bru bca Lou ny skrng
    Kangen ratu amber amber pisang ehhhh *nnt dijewer authorny hihi

  7. farahzamani5 menulis:

    Ni Lou lgi berkelana nih ka ceritany, mau ke raja utara gtu
    Trs trs tu ratu amber amber pisang mau ngapain dah ama Quentin, kepohhhh
    Mau maen api gtu, aihhh bahaya bu bahaya nnt kebakar hihi
    Ditunggu kelanjutanny
    Semangat trs ya ka

  8. syj_maomao menulis:

    Entah kenapa digambaran aku Ratu Amber itu cantik, tapi cantik yang menyeramkan yaa… :RENCANAJAHARA
    Menantikan Lou ingat dulunya dia Isyura, trus perang sama Ratu Amber hihihi~ imajinasi ku berlebihan ya kak aish :BAAAAAA

  9. Ditunggu kelanjutannya