Baca Novel Bagus Gratis Sampai Tamat › Forum › Forum Kepenulisan › Cara membuat cerita dengan narasi yang pas dan deskripsi detail. Contoh cara mengubah draft kasar menjadi sebuah cerita yang sudah difinishing › Balasan Untuk: Cara membuat cerita dengan narasi yang pas dan deskripsi detail. Contoh cara mengubah draft kasar menjadi sebuah cerita yang sudah difinishing

Lelah mendera tubuh Vani. Lingkaran hitam tampak dari matanya yang terlihat sayu. Satu per satu masalah tak pernah berhenti memberondongi pikirannya dan itu membuatnya stress, belum lagi dengan masalah pribadinya dengan keluarga membuat dia yang selalu profesionel dalam mengenyampikan urusan keluarga di kantor harus ia lepas jauh-jauh. Bagaimana tidak, perkataan adiknya yang membutuhkan uang untuk bayar SPP bulanan yang sudah menunggak 4 bulan menjadi suatu problematika di otaknya.
Dia menghela napas. Dia tak habis pikir dengan cobaan yang Tuhan berikan. Dia bukan orang yang fakir nikmat dan syukur pada Tuhan malah dia selalu bersyukur pada Yang Maha Kuasa setidaknya dia masih diberikan napas dan kehidupan. Tapi sepertinya ini sudah di ambang batas kuasa dirinya.
Dia menghela napasnya lagi dan kali ini lebih keras. Dilihatnya hamparan luas di sekeliling kantornya. Dia selalu berpikir kenapa kantornya harus dikelilingi padang rumput yang mengerikan tanpa sebuah bangunan besar atau pertokoan di atasnya. Tapi dia menepis segalanya. Dia tidak ingin pulang dalam keadaan paranoid.
Dia terus berjalan. Suara-suara malam saling bersahutan. Keheningan malam menulikan telinganya. Kini dia berharap agar cepat sampai ke halte bus untuk pulang kerumah. Menikmati secangkir teh hangat dan menyuruh adiknya yang merupakan keluarga satu-satunya yang dia miliki untuk memijati kaki dan badannya yang pegal. Namun, perjalanan serasa begitu panjang dan lama, dia merutuki nasibnya karena telah lupa menyimpan file yang merupakan materi untuk rapat besok dan harus mengerjakannya hingga ketinggalan bus antar-jemput kantornya dan dia juga lupa mengisi bensin motornya tadi pagi.
Hah!
Vani menghela napas lega saat melihat dari kejauhan remang-remang cahaya dan bunyi klakson dari para pengguna jalan raya. Dia mempercepat langkahnya saat melihat seorang wanita berpakaian merah dengan rambut panjang yang menjuntai tengah memandanginya. Kuntilanak Merah.
Ya Tuhan, kini Vani berharap dia tidak memiliki indra ketiga yang dapat melihat makhluk-makhluk astral. And now, dia mendengar suara cekikikan tak jelas dari makhluk itu. Walau sudah biasa melihat dan mendengar tapi tetap saja dia hanyalah seorang wanita yang lemah dan penakut. Tapi dengan secuil keberanian yang dia miliki dia berkata pada makhluk itu, “Kali ini saya tidak ingin bermain-main denganmu. Pergilah!”
Bagaikan sebuah firman dari Tuhan untuk makhlukNya, kuntilanak itu mematuhi dan kemudian pergi mencari mangsa untuk ditakutinya.
Vani bernapas lega setelah kuntilanak itu pergi dia dapat menemukan halte bus dan ternyata tadi dia sudah memutari halte tersebut hanya saja ‘mbak-mbak berpakaian merah’ tadi menghalangi pandangannya dari halte bus tersebut.
Dia menunduk saat merasa penggunggu bus dalam arti sebenarnya sedang melihati dia dengan sangat intens. Dia menghadap kaca yang ada di sebelannya dan kebetulan disediakan di halte tersebut untuk sekedar melihat penampakan dirinya. Dan sungguh mencengangkan dia menatap sesosok makhluk bernama kuntilanak yang tak lain dan tak bukan adalah dirinya. Rambut lepek akibat keringat setelah berlari, make up yang sebenarnya di poles tipis dengan bodohnya luntur. Ah, kini dia merasa malu, dengan segera dia menghadap ke jalan, kemudian menunduk.
Dibukanya risleting tas selempangnya kemudian mengobrak-abrik tas itu hanya untuk mengambil tissue. Setelah mendapatkan barang yang diinginkan dia langsung mengambil cermin. Dia menaikkan cerminnya sepantaran wajahnya setelah itu tangan yang memegang tissue langsung menghapus make up dari wajahnya dengan kasar.
Hening!
Dan kini bulu kuduknya berdiri lagi. Dia berharap ‘Mbak-mbak’ atau ‘Mas-mas’ tidak mengganggunya. Dengan gerakan pelan dia memasukkan cermin dan sampah tissue-nya kedalam tas setelah merasa ada yang menepuk bahunya. Dia berbalik dengan gerakan slow motion. Peluh membasahi wajah putih polos tanpa make up-nya. Matanya tertutup.
“Vani? Kenapa kamu masih disini? Apa kamu tidak tahu kalau bus sudah berangkat sejak 5 menit yang lalu?”
Dia membelalakkan matanya saat mendengar suara yang cukup familiar untuknya. Dan ternyata dia adalah Pak Andre, supervisor di divisi bagian Vani bekerja, pemasaran. Mata Pak Andre yang coklat terang entah mengapa membuat Vani sedikit –ingat hanya sedikit– terpesona.
“Vani? Apa kamu baik-baik saja? Kamu keringat dingin.”, ucap Pak Andre sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya.
Vani mengerjapkan matanya, dia berdeham kemudian bertanya, “Maaf ada apa ya Pak? Tunggu tadi bapak bilang apa? Bus sudah berangkat?”
Pak Andre mengangguk kemudian mengarahkan remot mobil untuk membuka kunci mobilnya. Sedangkan, Vani dia sudah cerocos sana-sini dari mulai itu adalah bus terakhir. Adiknya, Vano yang kelaparan bahkan persiapan untuk tes mata kuliahnya yang harus pending dan kemungkinan besar dia tidak akan lulus dari mata kuliahnya. Hah! Melihat hal itu, Andre –sebut saja namanya langsung ga usah pake embel-embel pak– langsung menarik tangan Vani.
“Eh eh apa-apaan nih Pak? Bapak kira saya kambing ditarik-tarik!”, cerocos Vani.
Andre memutar bola matanya kemudian mendengus. “Saya akan mengantarkan kamu pulang, tidak baik anak gadis pulang sendiri,”
“Tap- Tapi pak–”
“Tidak ada tapi-tapian!”
Andre membukakan pintu kemudian mendudukkan Vani di kursi menumpang, dia juga memasangkan seat belt untuk Vani, dan dengan jarak sesempit itu membuat jantung Vani berdegup kencang. Tapi setelah Andre keluar dan menutup pintu kemudian berlari memutar ke kursi pengemudi, dia mendengus saat ‘mbak-mbak’ sedang menyeringai di jendela kaca tepat di luar jendela kaca dan menempel di pintu. Dan mobil pun bergerak, tapi si ‘mbak-mbak berbaju merah’ itu sudah nangkring di kursi penumpang di belakang.
Vani mendengus, “Dasar astral,” umpatnya pelan tapi masih kedengaran oleh Andre.
“Siapa?”, tanya Andre tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
“Itu ada ‘mbak-mbak astral berpakaian merah’ duduk di jok belakang, biasalah numpang nebeng abaikan saja Pak.” jawab Vani enteng.
Andre menengok ke kaca spion seraya berkata, “Tidak ada siapa-siap– jangan bilang itu kuntilanak?”
Vani mengangguk sedangkan Andre mandi keringat. “Cempaka Putih No. 19 pak.” ucap Vani tiba-tiba, Andre langsung mengalihkan pandangan ke Vani kemudian kembali fokus ke jalan setelah Vani melanjutkan, “Rumah saya.”
Sedangkan ‘mbak-mbak’ itu hanya cekikikan tidak jelas.
***
Ck. Cerita apa ini? Ga jelas amat. Still newbie. :)