Red Prince

[END] The Red Prince | Part 30 : Upacara Penyemaian Warna

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

Cover

 

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Sudah cukup. Ayo kita kembali ke kastil masing-masing dan segera berkumpul ke aula besar-”

Suara petir yang cukup kencang mendadak menggelegar di atas mereka tanpa peringatan. Rombongan pemimpin klan itu seketika menengadah dan melihat ke sekeliling dengan cepat untuk mengetahui apa yang terjadi.

Reddish mengamati dengan cermat pelangi semesta yang masih berada di tempatnya berikut warna terakhir yang menyala di sana meskipun redup. Sungguh saat ini tak ada yang dikhawatirkannya selain Azure dan calon putranya yang sedang bersemayam di perut istrinya itu. Tak ada jaminan jika istri maupun calon putranya akan terus baik-baik saja. Ancaman bisa datang dari mana saja tanpa bisa diprediksi, belum lagi tanggung jawab besar untuk menjaga anak dan istrinya itu tak hanya sampai di situ saja, penjagaan dirinya kepada dua makhluk itu termasuk dalam tanggung jawabnya untuk menjaga pelangi semesta tetap menyala.

Pemimpin klan merah itu menengadah lagi saat memikirkan tentang itu semua. Petir itu tidak ada lagi, tetapi tiba-tiba saja, di seberang langit yang jauh, sambaran petir yang ternyata berwarna ungu itu menyala lagi dengan kuatnya, melempar-lemparkan suaranya ke segala penjuru, membuat makhluk-makhluk warna yang sedang termangu mengambang di udara itu memandang serempak ke arahnya. Tanpa sadar, cahaya terang itu mengantarkan mata mereka semua ke dua titik yang membuat Reddish melangkah maju dan menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas.

“Apa itu tadi?” Ecru melangkah menyejajari Reddish yang berdiri di barisan paling depan. Mata kuningnya turut menyipit dengan rasa ingin tahu yang memuncak.

Reddish terdiam sejenak dengan pandangan tajamnya yang tak berubah, ke arah petir yang seolah berjalan kian jauh dari atas tempat mereka, membelakangi Reddish dan rombongannya. Entah bagaimana alih-alih merasakan ancaman berkat nuansa aneh petir itu, Reddish justru merasakan sesuatu yang tidak asing saat menyaksikan kemunculan fenomena aneh tersebut, seakan-akan petir itu mengenalinya dan ia pun sama, mengenali gerakan cahaya itu. Terlebih, setelah ia memastikan berkali-kali, ia tidak salah lagi. Dua tempat itu seperti menunjukkan eksistensinya seolah merasa iri karena wilayah klan yang lain seluruhnya Reddish kunjungi sementara wilayah itu tidak.

“Kastil biru dan kastil ungu.” Reddish menjawab singkat.

Ecru dan yang lainnya seketika menoleh. Kening Ecru mengernyit saat melihat selintas senyum tipis di ujung bibir Reddish ketika mengatakan kalimat itu. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.

“Ada yang terlewat. Kita harus ke dua kastil itu terlebih dahulu sebelum kembali pulang.”

Pemimpin klan yang lain tampak mengamati langit dan memperhitungkan waktu serta saling bertanya satu sama lain dalam gerakan isyarat. “Waktu telah beranjak sore hari, Tuan Reddish. Untuk apa kita ke dua kastil kosong itu? Tidak akan ada yang menyambut Anda di sana.” Shamrock bertanya dengan pandangannya terarah ke utara, tempat kastil biru dan kastil ungu berada. “Dan kastil ungu … pun tidak ada penghuninya sama sekali. Apakah Anda yakin hendak pergi ke sana?” tanyanya dengan nada penuh ragu.

“Aku tahu. Tapi sepertinya kita harus ke dua kastil itu juga karena walau bagaimana, dua wilayah itu adalah daerah kekuasaanku. Aku harus tetap memastikan keamanannya karena setelah ini kita semua akan turun ke langit manusia. Siapa yang tahu jika ternyata ada makhluk yang sedang bersembunyi di sana dan diam-diam menyimpan ancaman, bukan? Meskipun aku yakin jika keduanya saat ini kosong karena mantraku telah menyelubungi dua kastil itu,” jelasnya dengan ekspresi berpikir. “Ayo, kita harus bergegas sebelum semakin banyak waktu yang terbuang,” perintahnya sembari memimpin terbang, diikuti para pemimpin klan lainnya yang saling pandang lantas turut terbang mengekor di belakangnya.

Petir itu berwarna ungu. Reddish mempercepat terbangnya sembari terus berpikir dalam diam. Apakah itu ada hubungannya dengan klan putra yang sedang dikandung Azure sehingga Reddish tak merasa terancam?

***

Suara jeritan Azure yang terkejut karena suara keras itu membuat Crimson dan pelayan lainnya yang sedang berjaga di pintu kamar sontak menyerbu ke dalam ruang kamar tanpa pikir panjang. Mereka pun terkejut bukan main mendengar suara petir yang keras itu, tetapi pikiran bawah sadar mereka seolah telah disetir untuk menjaga maharani sesuai perintah pemimpin mereka sehingga meski terlonjak kaget, hal pertama yang mereka pikirkan adalah bagaimana keadaan Nona Azure?

Suara derap lari terdengar bersusul-susulan di dalam area ruang peraduan. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat Azure sedang berdiri bersandar di dinding dengan kedua telapak tangannya yang masih menutup telinga. Aura perempuan biru itu tampak pucat dengan tubuh gemetar, membuat Crimson dan para pelayan perempuan yang segera berlari mendekat itu kalang kabut.

“Nona. Nona Azure. Ini saya.” Salah seorang pelayan perempuan mendekat lantas memegangi kedua lengan Azure lembut supaya perempuan itu tak terkejut. “Anda baik-baik saja?” tanyanya kembali dengan takut dan cemas setengah mati.

Mendapat sentuhan di tengah nuansa shock yang melanda membuat tubuh Azure sedikit terkesiap ketika dua tangan hangat pelayan itu mendarat di lengannya. Azure lantas mengerjap dan kembali mengatur napasnya yang tersengal. Perempuan itu mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Anda pucat sekali, Nona. Mari saya antar ke tempat tidur.” Dengan telaten pelayan merah itu menuntun Azure yang masih dilanda keterkejutan hingga langkahnya tampak tertatih.

Crimson berdiri menjaga jarak di ambang ruang peraduan itu dan sedikit memalingkan wajahnya untuk menjaga sikap. Dia hanya ingin memastikan sendiri jika maharani mereka itu dalam keadaan baik dan tak ada sesuatu hal pun yang perlu dikhawatirkan. Namun sepertinya kali ini Crimson salah, karena begitu berhasil mendudukkan dirinya di tepi ranjang, tubuh Azure nampak kuyu dengan tubuhnya yang sesekali memunculkan aura merah dan biru tak beraturan yang membuat Azure terlihat payah.

“Reddish belum pulang?” Azure berkata dengan napasnya yang berat. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya ini. Apakah kehamilan membuat tubuhnya lemah? Mengapa hanya dengan terkejut saja, dia bisa seperti ini?

“Belum, Nona. Anda ingin saya menghubungi tuan Reddish sekarang?” Crimson menyahut  lantas melihat ke luar jendela untuk menghitung waktu. “Rombongan pemimpin klan direncanakan akan tiba sebelum senja, Nona, tapi saya bisa meminta pengertian kepada tuan-“

“Tidak usah, Crimson.” Azure menyergah cepat sembari mengibaskan tangannya lemah untuk meyakinkan penolakannya. “Aku tidak ingin Reddish cemas,” tuturnya sembari tersenyum lemah. “Mungkin aku hanya butuh tidur,” lanjutnya lagi.

Para pelayan saling pandang dalam tatapan khawatir yang sama. “Anda ingin meminum ramuan Anda, Nona? Mungkin itu akan membuat Anda lebih baik?” tanya salah seorang dari mereka ketika Azure tetap teguh pad pendiriannya.

“Tidak. Kalian bisa meninggalkan ruangan. Aku ingin tidur,” pintanya sekali lagi dengan keras kepala, mengusir terang-terangan semua makhluk yang ada di ruangan itu dengan ucapannya yang tegas meski terdengar sengau.

“Baik, Nona. Kami akan terus bersiaga di sisi ruangan jika Anda membutuhkan bantuan. Segeralah memanggil kami jika Anda menginginkan sesuatu.” Para pelayan berikut Crimson menjura bersamaan sebelum dengan berat hati meninggalkan ruang peraduan itu, meninggalkan Azure yang mulai berbaring dan memejamkan mata.

***

Kosong.

Tidak ada kehidupan di kastil milik Azure. Bahkan setelah rombongan para pemimpin klan itu menyebar dan meneliti setiap sudut wilayah klan biru, tak ada  satu makhluk pun baik makhluk penyemai warna maupun hewan-hewan warna yang biasanya menghuni wilayah klan, seolah-olah mereka semua memutuskan untuk benar-benar meninggalkan rumah mereka dan tak kembali lagi.

Reddish melangkah perlahan di ruang depan kastil itu, memindai secara saksama dengan sebelah matanya yang buta warna.

“Kalian menemukan sesuatu?” Reddish bertanya ketika para pemimpin klan yang lain telah berkumpul kembali setelah mereka berpencar untuk melakukan pemindaian.

“Tidak, Tuan. Tidak ada apa pun.” Fuschia menyahut, mewakili yang lainnya.

Kening Reddish berkerut. Tatapan matanya kembali menyapu seluruh sudut ruangan yang ia bisa lantas mengangguk setelah memastikan jika memang tak ada makhluk hidup yang bertahan di wilayah itu.

Sepertinya Azure memang akan menjadi satu-satunya makhluk klan biru yang bertahan dan melakukan penyemaian senja nanti.

“Baik. Ayo kita ke kastil ungu. Waktu kita semakin sempit.” Reddish mengingatkan semuanya untuk bergegas.

“Siap.” Para pemimpin klan itu menjura dan mengikuti langkah Reddish lagi sebelum kemudian bersama-sama terbang menuju wilayah kastil ungu yang terletak tak jauh dari wilayah klan biru ini.

Kali ini rombongan pemimpin klan itu melesat secepat kilat sehingga warna-warna mereka yang tetinggal di belakang dan mengikuti mereka terbang itu hampir-hampir menyerupai warna pelangi semesta di atas mereka. Reddish mengeluarkan aura merahnya kuat-kuat saat hampir mencapai gerbang wilayah klan campuran itu.

Sama seperti wilayah milik Azure, wilayah klan ini pun sama kosongnya begitu mereka mendaratkan kaki di tanahnya yang berdebu tertutup awan. Reddish mengingat-ingat lagi jika terakhir kali ia mengunjungi tempat ini adalah pada saat kematian anggota klan ungu terakhir sebelum pelangi semesta pada akhirnya padam.

Lelaki itu mengernyitkan dahi ketika ia masih mengingat dengan jelas cahaya petir super besar yang sepertinya itu berasal dari wilayah ini. Ada apa? Apakah itu adalah pertanda jika sebentar lagi akan ada anggota klan ungu baru yang akan menempati wilayah ini?

Ekspresi Reddish mendadak gelap saat tiba-tiba saja ia teringat Azure  dan ia mulai cemas karena sepertinya  ia sudah melewati ambang batas waktu yang ditentukannya sendiri untuk meninggalkan Azure di kastil merahnya. Aura merah pekat menyala dari dua kepalan tangannya, tetapi Reddish menahan sekuat tenaga untuk tak melemparkan kekuatannya itu ke segala arah. Ia kesal bukan main karena merasa dipermainkan oleh petir sialan yang entah bagaimana bisa meluluhkannya hingga ia menyesal karena tindakan spontannya tersebut.

“Reddish. Kau melihat sesuatu?” Ecru berbisik di sisi Reddish yang sedang mengamati sekeliling.

“Apakah kami perlu berkeliling lagi?” Sandstone menawarkan diri ketika Reddish tak kunjung memberi perintah.

Lelaki merah itu memasang wajah dingin ketika berkata, “Tidak perlu. Kita sudah hampir terlambat. Mungkin kita hanya perlu menginjakkan kaki di sini sebagai bukti bahwa dua kastil ini masih kuperhatikan juga saat aku harus pergi berkeliling,” ucapnya sinis kemudian. “Kalian tak perlu mengawalku. Setelah ini kita langsung kembali ke kastil kita masing-masing dan langsung memulai keberangkatan,” titah Reddish yang dijawab oleh anggukan serta jawaban kompak dari masing-masing pemimpin klan.

Reddish mengangguk tipis dan mendahului pemimpin lainnya, terbang menuju kastil merah.

***

Lelaki klan merah itu membelalak begitu diberi tahu oleh Crimson tentang keadaan Azure saat suara petir itu ternyata membuat istrinya shock hingga dilanda sakit. Reddish melangkah cepat dengan panik menuju ruang peraduannya dengan tubuh gemetar dan jantung berdebar cepat. Bayangan-bayangan saat Azure terbaring lemah langsung  mengungkung pikirannya dan membuatnya tak sabar untuk segera tiba di kamarnya.

“Kenapa kau tak memberitahuku, hah!” umpatnya keras saat tahu jika Crimson turut melangkah di belakangnya karena dilanda panik. Aura merah di tubuhnya menyala cepat seiring amarahnya yang kian memuncak.

“Ampun, Tuan. Nona Azure melarang saya-“

“Hah!” Reddish membalikkan tubuhnya cepat dan meraup leher Crimson hingga lelaki itu terangkat ke udara dan terbanting ke tembok di sisi lorong itu. Suara geramannya terdengar mengerikan hingga untuk sesaat, meski menahan sakit karena lehernya seperti tepelintir, lelaki tua itu memejam ketakutan menghindari tatapan Reddish yang beringas.

“Aku tak mau tahu lagi! Sekali aku memberimu perintah untuk menjaga Azure dan memberitahuku apa pun keadaannya, kau harus tetap memberitahuku!” teriaknya marah. “Apa harus kupisahkan dulu kepala dari tubuhmu ini agar kau paham, hah!” Suara Reddish terdengar keras menggema di sana, membuat semua makhluk yang tanpa sengaja sedang berada di sekitar lorong itu berhenti kaku dengan mata membelalak penuh ngeri, termasuk semua pelayan yang berada di ruang sebelah, yang meskipun Reddish saat ini tak sedang berada di depan mereka, mereka semua tampak membungkuk di lantai dengan tubuh gemetar.

Dengan tercekat dan napasnya yang mulai terengah tak beraturan, Crimson menjawab juga umpatan Reddish itu. “Sa-saya mengerti, Tuan.”

Reddish memandangi Crimson tajam. Kedua mata merahnya masih menyala meski sebentar kemudian tampak meredup. Tanpa perasaan, setelah berhasil mengatur napasnya yang tersengal, Reddish kemudian melempar tubuh Crimson ke lantai begitu saja sementara dirinya melanjutkan langkah cepatnya menuju ruang pribadinya itu.

Crimson terbatuk-batuk keras dan seluruh tubuhnya memerah. Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu seketika berlari menghampiri Crimson yang tampak kepayahan setelah mendapat amukan kemarahan dari pemimpin mereka.

“Mari kami bantu, Tuan.” Salah seorang dari tiga orang pelayan yang datang menghampiri itu berucap.

“Terima kasih.” Meski terlihat enggan dengan masih memaksa diri untuk mendudukkan dirinya sendiri dengan sebelah tangan, Crimson akhirnya menerima juga saat sebelah lengannya dipegang oleh pelayan-pelayan itu untuk membantunya berdiri.

Astaga. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa temperamen Tuan Reddish buruk sekali?

Crimson memandangi lorong kosong tempat Reddish tadi meninggalkan dirinya dengan ekspresi kecut. Rasa bersalah melumuri wajahnya dengan nuansa muram yang pekat.

“Bilang kepada kepala prajurit untuk bersiap-siap. Waktu hampir menjelang senja dan upacara penyemaian akan segera dilakukan. Minta mereka untuk menungguku di depan kastil. Kita akan bersama-sama menunggu Tuan Reddish dan Nona Azure di sana,” perintahnya kemudian dengan serak.

“Baik, Tuan Crimson.” Para pelayan itu menjura lantas segera pergi menunaikan tugas, meninggalkan Crimson seorang diri yang masih berdiri terpaku di sana.

***

Reddish merasakan dejavu saat memasuki ruang kamarnya. Ia seperti memasuki waktu yang sama ketika ia pertama kali meninggalkan Azure berada di ruang pribadinya ini dan sekarang, ia kembali kemari dalam keadaan yang sama. Cemas bukan kepalang atas keadaan Azure.

Lelaki itu melangkah tanpa suara ketika sudah mendekati ranjang. Perempuan biru itu terlihat berbaring tenang dengan selimut tebal yang menutupi setengah tubuhnya. Warna wajahnya tampak pucat seperti beberapa hari terakhir saat ia dinyatakan sedang mengandung. Reddish mengetatkan gerahamnya dengan ekspresi kecut lalu memutuskan untuk duduk di tepi ranjang mengawasi istrinya yang sedang terpejam.

Baru saja akan menyentuhkan tangannya ke dahi istrinya untuk memeriksa, cahaya oranye nan terang tiba-tiba saja menerangi seisi ruangan itu seolah memperingatkannya jika waktu hampir bergerak menuju senja. Reddish memicingkan mata saat pikirannya yang penuh pergolakan itu harus memutuskan dengan cepat.

Arak-arak anggota klan warna pastilah saat ini mulai berkumpul menunggu dirinya di aula besar sementara keadaan Azure sepertiny memang benar-benar tak bisa ia paksakan untuk turut serta menemaninya menyemai warna dan mau tak mau ia harus mengatakan itu semua kepada semua makhluk dan dewan warna yang pastilah telah menunggu.

Reddish memejam sejenak sembari mengambil napas panjang untuk menenangkan diri walau hatinya sesungguhnya terasa berat sebelah. Ia kemudian memandangi jendela ruang kamarnya yang besar dan berpikir untuk membiarkan Azure tidur dan akan meminta Crimson nanti untuk menemani perempuan ini jika ia memaksa turun ke langit manusia.

Ya, mungkin begitu lebih baik. Reddish mengangguk-angguk menyetujui pemikirannya sendiri.  Lagipula pada waktu-waktu sebelum ini, penyemaian warna tetap berjalan sempurna meski tidak dihadiri oleh semua anggota klan, walau sesungguhnya Reddish tahu, jika klan biru yang pada sekian tahun terakhir ini tak menampakkan diri, mereka juga sedang melakukan upacara mereka sendiri, terbukti dari warna laut dan langit dunia manusia yang masih biru seperti sedia kala.

Reddish tampak berdiri kaku di ruangan itu menghadap jendela. Ia bersumpah untuk tak akan menengok lagi ke arah Azure yang sedang terlelap karena jika sampai itu terjadi, ia mungkin akan menjadi satu-satunya makhluk paling dibenci oleh semua makhluk warna karena ia pasti akan tinggal lebih lama di ruangannya ini, enggan meninggalkan istrinya. Dan yang lebih buruk lagi, ia pasti akan melibas semua makhluk yang berani menantang perintahnya itu untuk mengundur barang satu malam lagi upacara penyemaian warna tersebut. Bayangan tak mengenakkan itu datang tanpa diundang, meracuni segala ketegasannya dan mengubahnya menjadi makhluk egois seketika.

Reddish mengepalkan tangan dan menguatkan tekad dengan kalang kabut. Ia lalu bergegas hendak menuju pintu ruangan saat tiba-tiba saja sebelah tangannya ditarik oleh sebuah tangan lembut dari sisi ranjang. Lelaki itu tersentak dengan perasaan tercekat dan segera menoleh.

“Reddish.” Azure tampak kuyu dengan cengkeraman tangan di pergelangan tangannya yang terasa mengencang. “Kau hendak pergi begitu saja tanpa mengajakku?” Azure bertanya parau dengan wajahnya yang berkerut. “Kau jahat sekali,” imbuhnya lagi dan menopang sebelah tangannya untuk duduk.

Pertahanan Reddish runtuh sudah. Lelaki itu seketika terduduk dan memeluk Azure rapat, membuainya dalam dekapan tubuhnya yang panas. Azure tersenyum kecil. Ia tahu jika Reddish saat ini berada di situasi dilematik dan ia pada akhirnya terbangun di waktu yang tepat.

“Jangan bilang kau tertidur lagi. Jangan bilang kau tak apa-apa agar aku tak cemas.” Reddish berucap kemudian dengan nada suaranya yang serak.

Azure tersenyum lagi dalam dekapan lelaki itu. Ia tahu jika Reddish baru saja melampiaskan kemarahannya pada entah siapa yang berada di luar kamarnya tadi karena kekeraskepalaannya. Ia tahu jika sesungguhnya Reddish tidak membenci dirinya sehingga tak mau menoleh kepadanya saat akan meninggalkan ruangan ini tadi, melainkan karena lelaki itu tak mau menjadikan pilihannya sebagai beban bagi makhluk lain. Ia tidak ingin memilih, oleh karena itu, ia hanya akan menjalani apa yang memang seharusnya berjalan di hadapannya.

“Maafkan aku.” Azure berbisik sembari menumpukan beban tubuhnya ke pelukan Reddish dan menurunkan kakinya ke lantai. “Sepertinya kita harus bergegas, bukan? Semua makhluk telah menunggumu,” ucapnya dengan senyum manis.

Reddish mengecup sisi kepala Azure dan tak meminta izin untuk meraup perempuan itu ke dalam gendongan lengannya yang kuat. “Maafkan aku juga karena kau merasa terdesak,” ucapnya penuh sesal.

“Tidak. Aku tidak merasa terdesak atas apa pun. Aku begitu bersemangat menjalaninya.” Azure melingkarkan lengannya untuk berpegangan dan memberi dorongan semangat kepada suaminya dengan menggerak-gerakkan tangannya, membuat Reddish mau tak mau tersenyum dan mengangguk, membawa Azure secepat kilat ke aula besar.

***

“Saya selalu siap untuk Anda, Nona. Jangan khawatir.” Fuschia berdiri di belakang Azure dan berbisik, membuat Azure menoleh dan memberikan senyumnya yang terlihat sendu ke arah perempuan klan merah muda tersebut.

Reddish sedang memberikan instruksi singkatnya kepada semua makhluk untuk tetap berada dalam lingkup perlindungannya selama proses penyemaian. Lelaki itu berdiri di tengah-tengah anggota klan yang berbaris rapi sesuai klannya masing-masing.

“Terima kasih, Fuschia.” Azure berucap di sela-sela perhatiannya ke arah Reddish yang sedang berdiri gagah memunggunginya.

Lelaki itu kemudian memundurkan langkahnya dan merangkul pinggang Azure. “Ayo,” ajaknya dengan ekspresi penuh semangat. Reddish kemudian menerbangkan dirinya dengan memendarkan aura merahnya yang begitu kuat ke udara, memimpin semua makhluk. Arak-arak makhluk warna itu pada akhirnya terbang bersamaan memenuhi langit, memancarkan aura warna yang terlihat mengembang bersama-sama, dipimpin oleh Reddish yang terlebih dahulu turun ke langit manusia.

Awan-awan mendung nan gelap penuh guruh menyambut mereka, seolah tersenyum menerima kedatangan makhluk warna yang hendak berbagi warna itu. Reddish menghentikan gerakan terbangnya sembari terus merangkul Azure rapat. Gerimis turun perlahan-lahan menyambang, menyapu-nyapu tubuh. Anak-anak yang turut dalam upacara penyemaian itu terlebih dahulu antusias. Mereka menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tertawa-tawa saat air hujan yang menyentuh tubuh mereka pada akhirnya membawa warna mereka turun ke dunia. Makhluk-makhluk perempuan saling membisiki putra mereka untuk tenang sebelum pemujaan dilakukan.

Reddish memimpin. Lelaki itu mengangkat kedua tangan, diiringi bait-bait puja-puji yang semula terbisik lirih dari mulut para makhluk, menjadi gema yang terdengar khidmat di seluruh penjuru langit. Mereka berdoa untuk kebaikan negeri langit, mereka mengharap restu semesta agar kejayaan negeri langit membawa kejayaan bagi seluruh alam. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu. Saat mereka bisa menadah air langit dan mengungkapkan cita-cita hati kecil mereka yang akan tersemai oleh hujan. Makhluk-makhluk muda baik laki-laki dan perempuan saling menunduk, beberapa dari mereka bahkan tak sanggup lagi menahan haru hingga menutup wajah dan menitikkan air mata.

Hujan kian deras beriringan senja yang kian matang. Reddish mengakhiri pemujaan dengan menyapukan kekuatan merahnya ke segala penjuru. “Mulai!” serunya yang membuat semua makhluk warna itu turut bersorak, terbang menghambur ke segala penjuru, melayang saling berpegangan dengan penuh sukacita, melompat ke sana kemari dengan memendarkan aura warna mereka yang saling berpilin dan menyatu dengan hujan.

Makhluk-makhluk itu menyebar ke segala arah hingga ke dunia manusia. Menyentuh-nyentuhkan aura warna ke berbagai benda alam yang yang menjadi warna mereka. Ke pucuk daun-daun, bunga-bunga, dan aneka satwa yang turut beterbangan mengikuti mereka. Kadangkala makhluk-makhluk warna bersembunyi di balik atap, menatap dengan kening mengernyit para manusia yang bersedih-sedih di belakang jendela saat hujan turun, padahal bagi mereka makhluk langit, saat-saat seperti ini adalah momen membahagiakan karena mereka bisa berbagai warna dengan alam.

Warna-warna hitam beterbangan di atas lautan, menebarkan aura kelam mereka hingga titik-titik biru pada laut berubah gelap, mengombang-ambingkan kapal yang sedang berlayar, silih berganti dengan klan putih yang lambat laun menurunkan cahayanya menggantikan mendung, mengubah awan-awan kembali putih, menurunkan gelombang laut. Semua warna saling mengisi dan kadangkala pada penyemaian warna seperti ini, klan warna saling berlomba menunjukkan warna mereka masing-masing , dan prajurit warna terpaksa turun tangan menertibkan.

Di tengah-tengah aktivitas makhluk warna yang sedang sorak semarai, Reddish berdiri terpaku menatap Azure yang sedang mengusap perutnya perlahan. Aura merah menetes-netes dari tubuh lelaki itu berkat air hujan yang menyapu-nyapu kulitnya. Tanpa disangka, di tengah keriangan semua makhluk warna yang sedang bersuka cita atas penyemaian warna itu, suara petir yang cukup keras dari dunia langit menggelegar kembali. Reddish buru-buru mendekatkan tubuhnya ke Azure dan menangkupkan kedua jemari mereka.

“Sepertinya, dia selalu cemburu jika tak kuperhatikan.” Reddish berucap serak sembari memandangi lembut perut Azure.

Azure mengangkat pandangannya dan menemukan jika Reddish saat ini tengah mengawasi usapan tangan di perutnya  dengan tatapan takjub, sayang, teduh, dan segala jenis tatapan yang mungkin saja belum pernah lelaki itu tunjukkan padanya selama mereka bersama. Azure tersenyum kecil dan tatapan birunya yang semula sendu itu mengendur sudah, berganti menjadi tatapan penuh cinta.

Lelaki merah itu lalu mengarahkan kedua mata merahnya ke arah mata biru Azure yang sedang menatapnya. “Ayo kita tunjukkan padanya betapa harmonis kedua orangtuanya,” ajaknya dengan sebelah bibir terangkat dan seketika menarik Azure ke dalam dekapannya dan memamerkan ciuman mesra mereka meski wajah perempuan itu tampak terkejut dan merah padam.

Makhluk-makhluk yang kebetulan sedang terbang di sekitar Reddish berada itu tak ayal menghentikan gerakan mereka ketika mata mereka yang awas melihat perpaduan warna ungu nan cantik yang bekerlipan dengan dua warna merah dan biru yang terus berkelindan indah di tengah-tengah hujan itu. Makhluk kecil yang terbang bergerombol dan sejak semula tampak antusias itu bahkan terbang beriringan dan menari-nari bahagia mengitari warna agung mereka yang akan segera lahir. Warna agung dari seorang putra campuran dengan kekuatan pesona yang tak terelakkan. Mauve sang pangeran ungu!

 

TAMAT

 

Hai, terima kasih telah membaca The Red Prince hingga part ini :lovely :lovely terima kasih banyak atas tempat, segala kesempatan, penyemangat dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Semoga terhibur dan nyumbang-nyumbang manfaat meski secuil buat selingan baca novel PSA yang makin keren!

Jadi? Ehem, The Red Prince cukup sampai di sini? Atau lanjut ke part2 ekstra? Hihi

12 Komentar

  1. Queen_Urvilla menulis:

    :lovelove :lovelove :lovelove

  2. rhafatimatuzzahra menulis:

    :lovelove

  3. Dian Sarah Wati menulis:

    :lovelove :lovelove :lovelove

  4. Dian Sarah Wati menulis:

    Cerita nya bagus…semangat berkarya terus

  5. Bidadari Jelita menulis:

    Lanjutkaannn….jgn berhenti Berkarya… SEMANGAATTT Bang
    :penuhsemangat :kudukungkau

  6. Lanjutkan…. :berikamiadegankiss!
    :lovelove :lovelove

  7. Jayaning Sila Astuti menulis:

    lanjut aja yuk…

  8. Such a nice story kak!! Please mau tau lanjutannya dongg gimana nanti Prince Mauve huhu..
    Semoga selalu sehat & bisa terus berkarya ya kak! Hwaitingg :lovelove

  9. Syadzerayani menulis:

    Keren…
    Ketika sudah saling terbuka, keadaan menjadi lbh baik

  10. GiadoreFunia menulis:

    Ekstra part dong kan belum kencan di dunia manusia 😍😍😍
    Kayaknya bakal ada seri 2 nya buat Mauve pangeran ungu ya???