Rania mengemasi barangnya yang tidak seberapa. Ia harus segera pergi, kalau tidak ia akan menetap di sini tidak peduli perjanjiannya bersama Ferre. Rania menarik nafas, melihat semua bajunya sudah tersusun rapi di dalam tas besar. Rania miskin, tentu saja ia tidak memiliki koper. Besok ia harus bersiap untuk pergi, pergi dari tempat di mana ia dibesarkan. Tempat dari segudang kenangan.
Dulu, Rania selalu bertanya-tanya. Kenapa tidak ada orang tua atau calon orang tua yang mengadopsinya, kenapa tidak ada keluarga yang ingin mengangkatnya sebagai anggota keluarga mereka. Apakah Rania setidak pantas itu? Ia selalu bertanya, pernah sekali ia bertanya kepada Bunda Indah. Jawabannya, ia harus bersabar mungkin belum waktunya bagi Rania untuk meninggalkan panti. Tetapi, sekarang saat ada kesempatan untuk pergi meninggalkan panti, kenapa ia harus merasa sedih. Hiburnya.
Ia selalu menunggu, selalu memiliki harapan mengenai masa depannya. Jika sewaktu kecil, ia akan selalu menanti dari waktu ke waktu siapakah keluarga angkatnya, setelah remaja ia bermimpi ingin memiliki keluarga. Rasanya Rania ingin tertawa, keluarga tidak ada dalam kamus hidupnya. Meskipun Bunda Indah menyayanginya, tapi terdapat sekat yang membentengi Bunda Indah. Dan Rania tidak tahu karena apa itu. Seperti impian gadis remaja kebanyakan, jatuh cinta dengan pangeran berkuda putih yang akan memberikannya kebahagiaan, terlepas dari segala duka. Betapa naifnya pikiran Rania saat itu, siapa yang akan memperistri seseorang yang tidak jelas asal usulnya.
Setelah dewasa, impian Rania berubah. Ia ingin menjadi chef terkenal, oleh karena itu, ia bekerja di restoran. Melihat chef bekerja, membuat hidangan yang lezat dan cantik, membuat Rania tertarik. Ia bahkan mengumpulkan uang gajiannya untuk kursus masak di salah satu chef terkenal tapi apa daya, uang itu ia gunakan untuk membantu panti yang sedang kesulitan keuangan. Tidak ada satu pun dari harapan Rania yang terkabul, harapan itu adalah omong kosong tapi kenapa Rania terus berharap terhadap hidupnya.
Pagi menjelang, yang dilakukan Rania hanya termenung. Ia hanya tidur beberapa jam saja. Pikirannya terus meracau tidak karuan. Suara ponsel mengagetkan Rania.
0812345xxx
Dalam 30 menit lagi, sudah sampai ditempat yang sudah disepakati.
Sebentar lagi, hukuman mati Rania menanti. Ia bukan lagi pemilik tubuhnya, ia tidak memiliki kebebasan seperti sebelumnya. Ia akan mati, digantikan boneka nafsu seorang lelaki kaya yang angkuh, menatap dunia sebesar nominal.
Rania keluar dari kamarnya, ia ingin segera berpamitan dengan Bunda Indah, berdua tanpa adanya Bibi Dina. Bunda Indah duduk ditemani teh dan cemilan ringan yang Rania buat kemarin. Seperti ingin merasai terakhir, bagaimana kue buatan Rania.
“Bun,” sapa Rania, “Rania pamit. Doakan Rania ya, semoga bisa sukses.” Cukup hebat, ia bisa menahan segala desakan dalam dadanya. Desakan untuk menangis, Rania sudah lelah. Tolong, jangan lagi.
Bunda Indah diam, tidak menyahut. Rania pun, berlalu. Sudahlah, ia sudah hancur sejak menyetujui perjanjian itu bersama Ferre.
Gadis itu termenung, entah apa yang sedang ia pikirkan. Memilin tangan, menanti kejutan apa lagi yang hadir dalam hidupnya. Lelaki itu datang, berjalan selayaknya malaikat.
Malaikat? Memang dari penampilannya seperti Adonis, memikat semua kaum hawa sekali pAndang. Tapi menurut Rania, lelaki itu seperti malaikat pencabut nyawa. Mengerikan.
Tatapan Ferre tertuju pada gadis lemah dan pucat itu, bagaimana ia bisa menikmati jalang yang telah ia bayar semahal 300 juta melihat apa yang sedang dipakai Rania. Baju yang terlihat sangat sangat ketinggalan zaman, wajah pucat layaknya zombie, tapi keinginan untuk menyeretnya ke tempat tidur tidak pernah surut, dan semakin menggebu saja. Setelah memesan makanan dan makan dalam keheningan. Rania sangat ingin bertanya kepada Ferre, bagaimana selanjutnya, apa yang akan ia lakukan. Karna jujur, Rania tidak tahu akan berbuat apa. Menjadi jalang seorang pria kaya tidak pernah terlintas dalam khayalan terliar Rania. Lamunan Rania terusik saat lelaki itu selesai dengan makanannya dan membersihkan bibir menggunakan tisu, sangat terlihat elegan dan berkelas.
Kenapa lelaki ini begitu sangat menginginkan seorang gadis miskin yang hanya bekerja sebagai pramusaji? Apakah Rania secantik itu? Padahal jika Ferre ingin ia bisa mengencani model, artis atau apapun itu. Tapi kenapa Ferre memilihnya, pertanyaan itu menjadi misteri bagi Rania.
“Sudah selesai?” tanya Ferre pelan.
“Sudah.”
Tanpa banyak kata, Ferre berdiri dan menatap Rania. Seakan mengisyaratkan gadis itu untuk mengikutinya. Dan tentu saja Rania langsung membuntuti lelaki itu. Memasuki mobil mewah Ferre yang berbeda, berapa banyak mobil pria ini.
Menunggu di café mahal terlihat lebih baik dibandingkan duduk hening disamping Ferre, tanpa tahu berbuat apa. Canggung ini sungguh menyiksa.
Ferre menghentikan mobilnya ke tempat yang sangat asing menurut Rania, ia turun dari mobil diikuti Rania tanpa tedeng aling-aling, Ferre menyeret Rania untuk mempercepat langkahnya. Dasar tidak sabaran!
“Mana Mia?” Ferre langsung bertanya kepada karyawan butik.
“Ibu Mia ada di ruangannya Pak.” Jawab karyawan itu. Sedangkan Rania terdiam. Ia merasa sangat tidak pantas untuk masuk ke sini, lihatlah untuk karyawannya saja sangat cantik sedangkan menilik penampilan Rania, benar-benar berkebalikan sekali.
“Kau tunggu di sini.” Ferre pergi meninggalkan Rania bersama karyawan butik.
“Apakah Nona ingin duduk?” Rania hanya mengangguk dan tersenyum, “mari saya antar,” ucapnya.
Rania duduk di sebuah sofa yang sepertinya memang diperuntukkan untuk tempat menunggu. Butik ini menghasilkan gaun yang sangat-sangat indah, dari gaun pesta sampai gaun pernikahan. Untuk menyentuhnya saja Rania tidak berani, pasti harganya mahal.
“Hai….,” seorang wanita menyapa, sungguh baru kali ini Rania melihat secara langsung wanita cantik tanpa banyak kepalsuan. Seperti sudah menjadi rahasia umum, terkadang wanita sering mempermak wajahnya entah disuntik botox, filler bibir dan sebagainya. Tapi wanita ini cantik karna memang ia cantik, cantik dengan makeup sederhana tanpa menor, tanpa suntikan, sangat elegan. Di belakangnya ada Ferre, yang seharusnya gadis ini yang menjadi pasangan pas untuk Ferre. Si cantik dan si tampan.
“H-hai…,” wanita itu tersenyum, “mari ikut aku, kita cari gaun yang cocok dipakai sama kamu. Oh iya kita belum berkenalan, kenalkan aku Mia.” Mia menjulurkan tangannya, dengan cepat Rania mengelap tangannya dan menjabat tangan halus itu.
“Rania.”
“Kenapa harus dilap dulu tangannya, aduh kamu ini lucu sekali dan manis.” Rania tahu itu hanyalah sebuah basa basi, mana ada gadis miskin manis.
“Ayoo, dan setelah itu kita ke spa, ke salon dan beli semua hal yang kamu butuhkan untuk menjadi, ” Mia berbisik, “cantik dan luluhkan iblis itu.” Bahkan Mia saja menyebutnya sebagai iblis.
Jejak
Mana kelanjutan nya?
Knp gax lanjut disini aja sampe akhir,,
Penasaran
Permisi
Ayokk dilanjut
Seru
Lanjuttttt kak..