Vitamins Blog

Terjaga

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Coba dengarkan apa yang akan aku sampaikan. Sungguh, tolong jangan pernah menganggapku gila atau tak waras. Aku sangat sehat, baik secara rohani dan jasmani. Tidak ada yang salah denganku. Setiap Minggu aku rajin pergi ke gereja bersama orangtuaku. Aku bahkan selalu berdoa di setiap kegiatan yang akan aku lakukan. Aku tak pernah berani melakukan tindakan yang akan menyebabkan kemalangan pada seseorang.

 

Sungguh … aku tak pernah berani melakukan apa pun yang dilarang oleh agama dan norma.

 

Akan tetapi, akhir-akhir ini aku merasa ada sesuatu yang asing. Sesuatu yang jahat. Aku bisa merasakan hawa dingin yang mulai membelai wajahku tiap kali petang menjelang. Bahkan, aku bisa merasakan tatapan-tatapan tak kasatmata yang terus mengikutiku; memperhatikanku, menungguku mengiakan ajakan mereka, dan setia berharap bahwa suatu saat aku akan menoleh pada mereka.

 

Aku tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Pikiranku mulai kacau. Aku bahkan mulai merasa setiap tempat yang aku datangi terasa sesuram pemakaman.

 

Tuhan, ada apa denganku?

 

***

 

Aku bisa melihatnya. Ia duduk di pojok sana; menatapku dengan manik kelamnya, menanti datangnya kesempatan untuk menyentuhku, dan dia mulai tersenyum samar. Sosok pemuda berbaju hitam. Pemuda yang hanya bisa dilihat olehku. Aku tak pernah menyukai kehadirannya, dia selalu menjadi bayang-bayang di setiap langkahku, dan itu membuatku muak.

 

Aku membencinya.

 

Terkadang ia muncul di saat hujan mulai turun. Pemuda berbaju hitam itu berdiri di antara rintik air yang mulai menghunjam bumi, sementara aku berada di sisi lain; tersenyum kecut dan berharap hujan bersedia menghapus keberadaan pemuda itu dari kehidupanku. Ia hanyalah bagian dari kegelapan. Ia jahat.

 

Andai aku bisa berkata pada mereka yang berada di bawah terang, berkata bahwa aku pun ingin berada di jalur yang sama … jalur yang diperuntukan bagi mereka yang berhati murni, mereka yang tulus hati, dan mereka….

 

Kepalaku sakit.

 

Rasa ini kian menggila manakala aku menyadari bahwa sosok itu terlihat menikmati setiap derita yang aku rasakan. Ia adalah perwujudan iblis. Ialah jelmaan ular yang merayu Hawa agar memakan buah terlarang. Ialah penyebab jatuhnya Adam dan Hawa. Ialah bibit kejahatan yang pertama muncul di dunia. Ia adalah segala yang tak baik … segala yang menyebabkan manusia menjadi buruk.

 

Aku memegang dada. Sakit.

 

Ke manakah perginya seluruh cahaya indah yang pernah menerangiku itu? Kenapa aku merasa begitu tak berdaya? Seolah aku adalah seekor domba yang kehilangan penggembalanya; tak memiliki tujuan, tiada pula tuntunan hidup. Terang bahkan terasa dua kali lebih menyakitkan ketika menyentuh kulitku yang sedingin salju ini.

 

Aku kesepian.

 

Aku merana.

 

Aku … marah.

 

Tiada satu manusia pun yang bisa membawaku pergi dari jaring kejahatan ini. Aku terjerat. Lumpuh. Dan yang bisa aku lihat hanyalah segaris senyum yang pemuda berbaju hitam itu berikan padaku. Ia berkata dengan lembut, “Ambil.”

 

Aku menggeleng. Menolak. “Tidak.”

 

Kali ini dia hanya memandangku dengan sorot memelas, hampir-hampir aku lupa bahwa ialah yang menyebabkanku terjebak di ruang tanpa jendela ini. Ruang beraroma pengap, samar-samar aku bisa mengendus aroma obat, dan terkadang aku bisa mendengar bisik-bisik manusia yang membicarakan keadaanku.

 

Terkurung di sini, aku hampir-hampir merasa ingin mengakhiri nyawaku saat ini juga.

 

Kembali, aku berpikir buruk.

 

Kembali, pemuda itu tersenyum padaku. “Ambil.”

 

Kembali, aku menolak. “Tidak.”

 

***

 

Aku tertidur. Lalu terbangun, lagi. Waktu berlalu tanpa arti. Aku sendirian. Kedinginan. Tergeletak di atas ranjang putih, aku pun kembali memandang dinding-dinding putih yang mengelilingiku. Di atas nakas aku bisa melihat sepiring makanan dan segelas air putih. Aku tidak ingin menyentuhnya … aku tak ingin menyentuh makanan itu.

 

Rasa dingin kian menebal. Aku bisa merasakannya merasuki jiwa dan kalbuku, kental bagai darah yang menggenang. Rasa sakit pun mulai berdenyut. Aku meringis menahan sakit. Hanya ini yang bisa aku lakukan. Bertahan.

 

Lalu, ekor mataku menatap kehadiran sesosok pemuda berbaju gelap. Ia tersenyum dan berkata, “Ambillah.”

 

Aku hanya diam di sudut ruangan itu. Tak tahu harus berkata apa. Haruskah aku menyerah dan membiarkan rasa sakit itu mengalir begitu saja? Haruskah aku berjuang dengan keadaan yang semakin lama hanya akan membuatku merasa sakit?

 

Tidak. Aku tidak tahu.

 

Aku hanya berbaring diam di atas ranjang, membiarkan rasa sakit itu menari-nari di dalam ragaku, membiarkan degub jantungku menggila, dan pada akhirnya napas ini pun semakin sesak.

 

Hingga akhirnya aku memutuskan untuk terlelap dalam buaian kegelapan.

 

***

 

Kali ini aku terbangun dengan rasa pening di belakang kepalaku. Lidahku kelu dan aku bisa mengecap rasa pahit yang tak tertahankan. Tubuhku sebagian tak bisa digerakkan. Seberapa keras aku berusaha menggunakan jemariku untuk meraih apa pun … jemariku … jemariku mati rasa.

 

“Ambillah,” tawar pemuda berbaju hitam.

 

Aku menggigit bibir. Keringat mulai membasahi kening dan pelipisku. Hawa dingin kian menjalar hingga aku mulai gemetar. Memejamkan mata. Aku berusaha mengingat hal-hal indah yang mungkin pernah aku lakukan selama ini.

 

Sinar matahari hangat setiap kali aku membuka jendela. Aroma kue yang dipanggang Ibu. Suara celoteh kedua adik laki-lakiku. Suara air yang bergemericik. Langit biru yang selama ini tak bisa aku lihat. Dengung capung di pinggir sawah. Aku berusaha mengenang seluruh hal indah yang pernah aku alami. Aku berusaha mengingatnya … semampuku. Sayang, kenangan itu pun mulai menghilang bersamaan dengan datangnya rasa sakit di kepalaku.

 

Aku mengerang, mengaduh.

 

Datanglah kau wahai dewi malam.

Datanglah kepadaku, ceritakan perihal cinta yang pernah engkau dengar.

Malam-malam yang pernah dilewati bersama asa.

Datanglah padaku yang merintih pilu.

Katakan padaku rahasia semesta.

Katakan padaku hal yang akan tejadi.

Bawalah daku menjauh dari gulita.

Bawakan aku pelita.

Tapi raga ini kian melemah.

Rasa marah pun tak lagi terbendung.

Hanya menatap gumpalan awan mendung.

Aku merintih … sakit.

Siksa ini sungguh menyakitkan.

Bawa aku….

Bawalah diriku….

 

Lelah. Aku tak lagi mampu menahan rasa sakit yang kian mendera. Tubuhku semakin lemah. Dan aku tahu, mereka pun tak bisa berbuat banyak untukku. Helaian rambut hitam yang dahulu menghias kepalaku pun telah berguguran. Tak ada lagi sisa keindahan dalam ragaku. Wajahku tirus, kulitku pucat, dan aku bisa melihat bayangan hitam di bawah kedua mataku.

 

Miris. Aku tak mungkin selamanya terjaga dengan keadaan semacam ini.

 

Aku lelah.

 

Aku ingin bebas.

 

Maka aku pun kembali melihat sosok pemuda berbaju hitam. Ia tersenyum. Ia menawarkan sebelah tangannya padaku. Dan ia pun berkata, “Ambillah.”

 

Maka kali ini, tanpa perlawanan, aku memutuskan untuk menerima sebentuk kematian yang ditawarkan padaku. Aku ingin mengakhiri masa-masa suram yang aku lewati seorang diri.

 

Aku sudah lelah terjaga sepanjang malam.

 

10 Komentar

  1. aishelatsilla menulis:

    Ini ceritanya lagi koma gitu ya??

  2. :ragunih

  3. Speechless bacanya, penghambaran kondisinya bikin CJ ngerasa berada dalam kondisi si tokoh
    :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI
    Sedihhh, karena akhirnya dia menyeraaaah
    :LARIDEMIHIDUP :LARIDEMIHIDUP

  4. akhirnya meninggal yaa?

  5. Nyeseek :beruraiairmata

  6. fitriartemisia menulis:

    dia menyerah :PATAHHATI :PATAHHATI

  7. farahzamani5 menulis:

    Ahhhh ka galuh mahhh
    Aq merinding plus berkaca2 ni baca ny
    Ikut ngerasain perasaan mencekam diawasi oleh seseorang itu :PATAHHATI, seremmmm, takutttttt :PATAHHATI

  8. :PATAHHATI

  9. syj_maomao menulis:

    Ini ceritanya ibarat kata tentang malaikat kematian kah?? Aku bacanya merinding eyyy >_<

  10. Sedih dan nyeseekkkk :PATAHHATI