Vitamins Blog

Tir Na Nog ~Act 2

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Sejumlah manusia berkumpul di dalam ruang megah. Mereka mengisi kursi di sepanjang meja. Aroma cendana berbaur dengan bau kayu, terasa pahit di ujung lidah. Kecemasan menglayuti benak tiap petinggi itu—merasa waswas dengan suasana hati Ratu Amber. Ia bagai badai yang tak terkira kedatangannya; kadang sang ratu berbaik hati dengan membiarkan satu dua petingginya menerima hukuman atas ketidakbecusan, di lain waktu sang ratu akan dengan senang hati mencambuk siapa saja yang berani mempertanyakan kuasanya. Darah merah mengalir bagai anak sungai di Vermillion, di sudut kota setiap orang pasti akan mengagungkan nama besar sang ratu. “Ratu Amber, panjang umurmu, tenteram jiwamu.” Membungkuk, serukan nama sang ratu, maka ia akan berbaik hati membiarkanmu menghabiskan satu hari dalam damai.

Berada tepat di ujung meja, sang ratu merah menatap hamparan peta; merah untuk kerajaan berada dibawah kuasa Ratu Amber, biru untuk negeri yang akan dibinasakan, dan hitam untuk pelenyapan. Dalam balutan gaun sewarna darah, Ratu Amber menjelma rupa sebagai dewi kematian. Rambut sewarna bara api milik sang ratu tergerai indah menyusuri tulang punggungnya. Lalu, mahkota berhiaskan permata hitam bertengger apik di kepala sang ratu.

“Merah,” kata sang ratu. Jemari lentik yang dihias ornamen besi menyusuri garis peta, sesekali kerutan muncul di dahi sang ratu. “Merahku yang indah.”

Tak ada yang berani bersuara. Ratu Amber tengah memperhitungkan kesalahan. Sebagai pemimpin, Ratu Amber tak pandang buluh perihal pendisiplinan. Terakhir kali, Atar, sang juru keuangan, kedapatan menyembunyikan uang hasil pajak. Ratu Amber bahkan tak menyentuh kerah pria ceking tersebut, namun….

Pria itu tersungkur sembari menyentuh dada. Dan, ketika salah seorang prajurit menyentuh tubuh Atar, ia tak mendeteksi satu denyut nadi pun di leher Atar—pria itu meregang nyawa dalam hitungan detik. Cara mengakhiri kehidupan yang teramat indah. Dan ya, kematian Atar hanyalah sebagian kecil dari ketegasan yang diperlihatkan Ratu Amber.

Ratu Amber terkenal akan kegemarannya pada alkimia dan praktik sihir. Tak jarang sang ratu meminta beberapa budak, dengan bermacam gender dan usia, untuk dikirim ke ruang isolasi; sebuah ruangan yang terletak di bagian dalam sayap ratu. Tak satu pun dari budak-budak tersebut keluar dengan kondisi yang indah dipandang mata; sebagian budak mati dengan tubuh dipenuhi bilur hitam, yang lain tampak bagaikan mayat kering tanpa setetes darah pun dalam tubuh mereka, dan sebagian dari mereka keluar dalam keadaan termutilasi. Tak ada yang mempertanyakan kegiatan Ratu Amber dikarenakan teror yang telah lama tertanam dalam benak masing-masing. Ratu Amber mampu meremuk jantung tanpa perlu bersusah payah menyentuh dada seseorang. Menantang keputusan Ratu Amber tak ubahnya menjatuhkan hukuman mati—hukum sang ratu bersifat absolut; tak boleh dibantah, tak boleh dipertanyakan.

Kebebasan … Ratu Amber membatasi ruang hidup bawahannya. Ia tahu apa yang harus dilakukan dan sebaliknya, sang ratu menjauhi hal-hal yang akan mendatangkan kerugian di pihaknya. Vermilion, kota pusat kerajaan Ratu Amber bertempat, tak banyak ditemukan orang-orang terpelajar. Kaum cendekia berakhir di balik terali besi, jika dewa berbaik hati terhadap para cendekia yang tertawan tersebut, Ratu Amber akan dengan senang hati merajam para pemikir tersebut sebelum kemudian melempar mereka ke mulut singa.

“Aku ingin mendirikan benteng di sekitar Turangga. Bangun dan perintahkan mereka membuat parit di sekitar benteng. Masukkan beberapa ekor buaya. Pastikan,” tambahnya, “mereka menempatkan buaya rawa.”

“Ratu,” ujar salah seorang pria berjanggut lebat. Ia mengenakan pakaian kebesaran dengan manset yang dihias permata hijau. Tepat di salah satu dahinya terdapat bekas luka yang melintang hingga ke kening. “Budak yang dipekerjakan untuk membangun tanggul air di dekat perbatasan, mereka tak mungkin kuat melakukan proyek tersebut.”

“Ambil budak baru,” usul Ratu Amber. Kedua netra hitamnya menatap telak sang lawan bicara. “Warren, kau bisa mengambil budak-budak yang didatangkan dari Armis. Bukankah kerajaan itu berutang sejumlah nikel dan besi? Oh, kau juga tak keberatan, kan, mengirim beberapa gundik untuk dipersembahkan pada para prajuritmu yang berjasa?”

“Lalu,” kata Warren. Cairan empedu merensek naik ke kerongkongan sang jenderal. “Bagaimana dengan budak yang sakit?”

“Tinggalkan mereka,” jawab Ratu Amber. Ujung jemarinya mengetuk permukaan meja. “Bagaimana dengan penggalian di daerah sekitar Armis? Tidakkah aku meminta nikel dan besi murni segera dikirim ke Vermilion?”

“Ratu,” jawab seorang pria tua. Berbeda dari yang lain, pria itu mengenakan jubah hitam. Rambut putihnya yang panjang diikat menjadi satu. “Pihak Armis meminta perpanjangan waktu. Mereka sedikit mengalami kesulitan dengan adanya wabah muntaber. Tampaknya para penambang di Armis kurang mendapatkan sanitasi yang bagus.”

Ratu Amber mengangguk. “Begitukah?” sahutnya tak acuh. “Ah, aku rasa pertemuan kali ini cukup sampai di sini.” Ia mengangkat sebelah tangan dan memberi isyarat kepada setiap orang untuk segera meninggalkan ruangan. “Aku perlu melakukan sesuatu.”

Bangkit. Pria bernama Warren dan setiap orang yang ada di dalam ruangan undur diri.

Membosankan, pikir Ratu Amber. Ia mengharapkan perubahan sikap para pengikutnya. Kelemahlembutan hanya akan mendatangkan kekalahan. Tak ada tempat bagi jiwa yang lemah. Segala hal diperhitungkan; baik setiap tarikan napas maupun setiap detik waktu yang dijalani, segala hal di dunia ini tak ubahnya medan laga—hanya ada dua pilihan: menang atau kalah.

Dan Ratu Amber memilih kemenangan.

 

Engkau jiwa yang tak lekang ditelan waktu.

Telah kusebar bibit dari rahim sang ibu.

Menebarnya ke tanah hijau yang kelak akan dimerahkan kembali.

Anak-anak menarik benang asa di ujung kala.

Tertinggal dalam dimesti nestapa.

Di antara rekahan palung dunia yang telah hitam karena jelaga dosa.

Engkau lahir dari tangis sang ibu.

Perjamuan akan segera diadakan.

Berpesta….

Lalu, teguklah dan nikmati tetes darah sang ibu.

Sang ibu yang namanya dilupakan.

Wanita yang dilahirkan oleh anarki.

Duhai kekasih hati….

Dapatkah engkau berpaling pada sang ibu yang dihinakan kaummu ini?

 

Balada lama mengenai sang ibu. Ratu Amber masih mengingat nyanyian lama yang dahulu ramai disenandungkan oleh para kesatria perak. Jika ada yang mengerti perasaan yang digambarkan dalam lagu tersebut, maka Ratu Amber merupakan sosok yang pantas menyandang gelar sebagai wanita yang dilupakan namanya.

“Baginda,” sapa seorang pelayan.

Benak Ratu Amber kembali ke masa kini, ia tak lagi membayangkan wanita yang dinyanyikan oleh kesatria perak. Lagu lama … tidak untuk diingat.

“Mereka sudah menyiapkan apa yang Anda minta,” kata si pelayan.

Seulas senyum kepuasan tersungging di bibir Ratu Amber yang seranum apel. Kedua manik hijau Ratu Amber menyiratkan kepuasan. Ia pun bangkit dan berjalan meninggalkan aula pertemuan diikuti si pelayan yang mengekor di belakangnya. Lorong istana tampak lengang dengan satu dua prajurit yang berjaga. Suara langkah kaki menggema di sepanjang dinding istana. Melewati beberapa kelokan, Ratu Amber dan si pelayan menuruni tangga yang mengantarkan mereka ke sebuah ruangan.

Masuk. Di dalam sana berdirilah seorang wanita muda. Ratu Amber segera disambut oleh seorang pria ceking dengan suara serapuh kayu ginggo. “Baginda,” sapanya. “Kami berhasil mendapatkan seorang perawan untukmu.”

“Bagus, Tymeo,” kata Ratu Amber. “Kau,” tunjuk Ratu Amber pada si pelayan. “Pergi.”

Pelayan itu membungkuk, mematuhi perintah Ratu Amber untuk meninggalkan ruangan.

Ratu Amber memperhatikan wanita yang dibawa Tymeo. Lusuh, rambut sewarna tembaga yang kusut masai, dan Ratu Amber mendapati lumpur menempel di tepian gaun buluk milik si wanita.

Maju selangkah, Ratu Amber memandang mangsanya yang terus mengisak.

“Tolong,” kata si wanita, pilu. “Lepaskan aku.”

“Kau tahu,” kata Ratu Amber. “Aku bahkan harus melewati pecahan kaca dan bara api sebelum duduk di atas kejayaan. Apa yang kaualami ini tak lebih buruk dariku.”

Tak lebih buruk….

Tak lebih baik….

“Kumohon,” isak si wanita. Ia berlutut di hadapan Ratu Amber. “Demi Luma yang agung, ampunilah aku.”

“Luma?” ucap Ratu Amber, sinis. Tymeo yang berada tak jauh dari mereka hanya bisa membatu. Pria itu tak memiliki cukup nyali untuk menentang kesenangan sang ratu. Ia tahu bahwa seekor singa tak pernah kehilangan arah akan mangsa mereka. “Agnis pun tak akan mampu mengubah takdirmu. Aku sudah membuktikannya. Jauh, sebelum kau lahir. Lihatlah, apakah mereka bermurah hati padaku? Doa-doamu tak pernah benar-benar didengar. Kau boleh mencium kaki patung Luma. Silakan, Luma tak akan menunjukkan kasih.”

Ratu Amber mencengkeram rahang si wanita. Tepat di kulit yang Ratu Amber sentuh, ruam hitam muncul kemudian menyebar. Wanita itu membelalak, menatap senyum teror milik Ratu Amber. Kulit si wanita menghitam, tubuh manusia yang hangat pun berubah menjadi pualam. Tanpa ragu Ratu Amber meremuk kepala wanita yang telah membatu tersebut. Suara debum diiringi bunyi rekahan mengisi kekosongan di dalam ruangan. Tymeo tak mampu menjabarkan kengerian yang baru saja disaksikannya. Mulut Tymeo terkatup, keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Hiburan yang cukup menyegarkan jiwa,” kata Ratu Amber, puas.

Hal yang paling mengerikan di dunia ini adalah nafsu yang tak terpuaskan.

Akhirnya Tymeo mengerti sebaris kalimat yang dulu diucapkan ayahnya.

Ratu Amber tak pernah puas.

 

***

 

Terasing, Lou menyusuri ngarai sungai. Busur milik Lou hilang saat penyerangan serdadu Ratu Amber. Tabung berisi anak panah pun telah Lou buang. Anak-anak panah itu tak banyak berguna … tidak tanpa busur yang menyertainya. Lou hanya memiliki sebuah belati. Tinggal benda itu saja yang bisa Lou pertahankan.

Di sepanjang jalan, Lou menyempatkan diri untuk memetik beri liar untuk mengganjal perut. Buah mungil berwarna hitam dengan rasa asam. Sungguh, beri tersebut hanya menambah daftar kemurungan yang dialami Lou.

Lou Yenlui. Manusia yang diperkirakan akan mati dalam usia empat puluh lima tahun karena kurang bersosialisasi. Pada hari ini, takdir berkata lain: Lou selamat dari pembantaian ratu merah. Tentu, kepengecutan ini menyelamatkan Lou dari keharusan menjadi salah satu budak milik sang ratu. Rumor tersebar, Ratu Amber gemar mengirim pemuda berparas rupawan kepada bangsawan untuk dijadikan alat pemuas nafsu. Ratu Amber mengamini penyimpangan orientasi sebagian penduduk Vermilion. Pemuda berparas cantik menjadi salah satu komoditi utama sang ratu.

Bergidik, Lou tak ingin mencari tahu nasib warga yang diculik Ratu Amber.

Matahari kini berada tepat di atas kepala Lou. Keringat mengalir deras—membasahi punggung dan dada Lou. Sesekali ia mendengar suara; lemah … kemudian meredup. Tak jelas apa yang tengah didengarnya.

Lou merasa seseorang tengah mengikutinya. Bahkan Lou meyakinkan pemikiran mengenai dirinya yang tengah dikuntit.

“Auw!” seru Lou. Kerikil kecil mengenai kepala Lou.

Kesal, Lou menerjang semak perdu dan menarik paksa sosok yang berani mengusiknya.

“Lepaskan aku!”

Kurcaci? Oh bukan, jembalang. Ternyata sosok yang berani mengusik Lou adalah jembalang. Mahluk itu mungkin memiliki tinggi setara dengan anak-anak berumur lima tahun. Wajah bulat, hidung pesek, dan terdapat kerut di sekitar dahi dan mata si jembalang. Bajunya? Oh, sungguh menggelikan. Lou bahkan tak pernah menyangka jembalang gemar memakai baju yang terbuat dari … hanya jembalang itu yang tahu.

“Kenapa kau mengikutiku?” tanya Lou. “Aku bahkan tak mengusikmu.”

“Singkirkan tangan kotormu!” desis sang jembalang. “Atau aku akan mengutukmu.”

“Jembalang tidak bisa mengutuk.”

“Bisa!”

Lou menghela napas, lelah.

Akhirnya Lou memilih untuk menurunkan si jembalang.

Jembalang tersebut menatap curiga. “Kau anak buah ratu merah?”

“Bukan,” jawab Lou.

“Bohong. Seharusnya desa di bawah sana hancur. Kau tak mungkin berada di sini jika….” Kedua bola mata sang jembalang membulat. “Kau melarikan diri. Kau meninggalkan kaummu.”

“Tak ada yang bisa aku lakukan.”

“Cih.” Jembalang itu meludah. “Manusia. Oh kalian, tunggu dan lihatlah, aku yakin kalian menyajikan potongan daging ibu dan adik perempuanmu.”

“Aku tidak punya adik,” koreksi Lou. Ia tak memperlihatkan perubahan emosi. “Aku sudah cukup lelah dengan semua ini.”

Lou berbalik dan meninggalkan si jembalang.

“Hei!” teriak si jembalang. “Kau tak boleh ke sana!”

Diam. Lou tidak membalas.

“Arah yang kau tuju merupakan kawasan kaum bertanduk!”

Lou tidak menjawab. Ia tidak peduli.

 

7 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Barusan aja aq bca di watty ka hihi
    Ditunggu kelanjutanny
    Semangat trs yak

  2. Penasaran nih

    1. ???

  3. Jembalang itu apa ?? Sejenis hewan kah :ragunih :KECEWAHATI

  4. fitriartemisia menulis:

    aku pernah baca jembalang itu di harpott, cuma gak tau visual nya kayak gimana :LARIDEMIHIDUP

  5. syj_maomao menulis:

    Jembalang itu apa kak?? :ragunih
    Aku suka kak kata-katanya hihihi~

  6. Ditunggu kelanjutannyaa